Samarinda, Kaltimku.id – Ketimpangan akses pendidikan menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mulai memasuki tahap yang memprihatinkan. Empat kecamatan, yakni Muara Wis, Muara Muntai, Marangkayu, dan Kota Bangun, hingga kini belum memiliki fasilitas sekolah menengah atas (SMA). Kondisi tersebut memicu kekhawatiran baru terkait meningkatnya angka putus sekolah serta mobilitas pelajar ke luar daerah.
Tanpa keberadaan SMA di wilayah mereka, banyak keluarga harus memikirkan ulang masa depan pendidikan anak-anak mereka. Sebagian terpaksa memindahkan anak ke kecamatan lain, bahkan ke kabupaten berbeda, demi memastikan pendidikan menengah tetap bisa ditempuh. Sementara itu, pelajar dari keluarga kurang mampu justru berada dalam risiko tertinggi untuk menghentikan sekolah karena tidak mampu menanggung biaya transportasi dan jarak tempuh harian.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, dr Andi Satya Adi Saputra, menjelaskan bahwa persoalan ini sebenarnya telah lama terdengar, namun kembali menguat seiring terbatasnya kemampuan fiskal daerah.
“Ini bukan hal baru. Kami sudah mendengar persoalan ini sejak lama, namun kemampuan fiskal daerah sangat berpengaruh,” tegasnya.
Menurut Andi Saputra, ketiadaan fasilitas pendidikan bukan sekadar persoalan bangunan fisik, tetapi mengancam masa depan generasi muda di wilayah tersebut. Ketidakhadiran SMA menjadi penyebab utama terputusnya akses pendidikan formal dan memperlebar jurang sosial antarkecamatan.
“Ini bukan sekadar pembangunan fisik. Ini menyangkut masa depan generasi, akses pendidikan, pemerataan layanan publik, dan kualitas sumber daya manusia,” ujarnya.
Dampak ketimpangan ini mulai terlihat di beberapa kecamatan, di mana kualitas sumber daya manusia terindikasi tertinggal dibanding wilayah yang telah memiliki akses pendidikan lengkap. DPRD Kaltim menilai kondisi tersebut dapat berimbas pada pembangunan daerah dalam jangka panjang.
Karena itu, DPRD Kaltim mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mempercepat pemetaan prioritas pembangunan SMA baru, serta membuka peluang skema pendanaan alternatif agar pembangunan tidak terus tertunda. Andi menilai bahwa pendidikan tidak boleh menjadi korban penyesuaian anggaran.
“Semoga pemerataan akses pendidikan ini bisa dijadikan prioritas juga oleh pemerintah, karena setiap pelajar punya hak pendidikan yang setara,” pungkasnya.*






