Samarinda, Kaltimku.id – Polemik terkait pembayaran upah 84 pekerja proyek Teras Samarinda terus menjadi perbincangan di berbagai kalangan. Kontraktor pelaksana proyek, PT Samudera Anugrah Indah Permai, hingga kini belum membayarkan hak para pekerja, meski proyek telah rampung.
Kondisi ini memicu reaksi dari berbagai pihak, termasuk anggota DPRD Samarinda, yang berencana menggunakan hak interpelasi sebagai langkah konstitusional untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah daerah.
Rencana penggunaan hak interpelasi ini disampaikan oleh anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Anhar, dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh DPD Pemuda Indonesia Kota Samarinda. Acara bertajuk “Proyek Rampung, Upah Hilang, Dimana Hak Pekerja?” itu berlangsung di Kafe Ruang Pikir pada Jumat (7/3/2025) malam.
Anhar menegaskan bahwa penggunaan hak interpelasi merupakan langkah yang tepat untuk menuntut kejelasan terkait keterlambatan pembayaran upah pekerja proyek yang telah selesai dikerjakan.
“Hak interpelasi adalah hak yang bisa digunakan DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah daerah. Daripada hanya berdebat di ruang yang tidak jelas arahnya, lebih baik kita menempuh jalur konstitusional yang lebih formal dan terhormat,” ujarnya.
Hak interpelasi sendiri diatur dalam Pasal 167 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan aturan tersebut, pengajuan hak interpelasi memerlukan dukungan dari minimal tujuh anggota DPRD dari lebih dari satu fraksi.
Sebagai anggota Fraksi PDIP, Anhar mengungkapkan bahwa ia akan terlebih dahulu berkoordinasi dengan partainya sebelum mengajukan hak interpelasi. Mengingat Fraksi PDIP memiliki enam anggota di DPRD Samarinda, mereka hanya membutuhkan dukungan satu anggota DPRD dari fraksi lain untuk memenuhi syarat formal pengajuan interpelasi.
“Saya belum melakukan koordinasi dengan fraksi lain, tetapi langkah pertama yang harus saya tempuh adalah berkomunikasi dengan fraksi saya sendiri. Jika semua anggota fraksi setuju, kita hanya perlu mencari satu suara tambahan dari fraksi lain,” jelasnya.
Dalam diskusi tersebut, Anhar juga menyinggung dugaan bahwa proyek Teras Samarinda melibatkan perusahaan cangkang yang digunakan oleh kontraktor utama. Meski demikian, ia menegaskan bahwa pihaknya perlu mendapatkan klarifikasi lebih lanjut dari Wali Kota Samarinda sebelum mengambil langkah lebih jauh.
“Kita harus meminta penjelasan kepada pemerintah daerah terkait status perusahaan yang terlibat dalam proyek ini. Jika memang benar ada perusahaan cangkang yang digunakan untuk proyek ini, kita perlu menelusuri lebih lanjut bagaimana sistem pengadaannya dan siapa yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Selain itu, Anhar menyoroti pentingnya evaluasi terhadap proyek-proyek lain yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurutnya, pembangunan yang menelan anggaran hingga ratusan miliar atau bahkan triliunan rupiah harus diawasi secara ketat agar kejadian serupa tidak terulang.
“Saya pikir wajar jika DPRD melakukan evaluasi terhadap proyek-proyek besar yang didanai APBD. Kita tidak ingin ada kejadian seperti ini lagi, di mana proyek sudah selesai tetapi hak-hak pekerja terabaikan. Semua proyek harus dievaluasi, baik yang telah selesai maupun yang masih berjalan,” katanya.
Di tengah polemik yang terus bergulir, muncul informasi bahwa pihak kontraktor berencana untuk membayarkan upah pekerja pada 24 Maret 2025. Menanggapi hal ini, Anhar menegaskan bahwa pembayaran tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pekerja.
“Saya hanya ingin memastikan bahwa pekerja yang telah menyelesaikan proyek Teras Samarinda menerima upah mereka. Tidak peduli siapa yang harus bertanggung jawab, yang terpenting adalah hak pekerja harus segera dipenuhi,” pungkasnya.***