Samarinda, Kaltimku.id – Banjir yang berulang setiap musim hujan di Samarinda, Kutai Kartanegara (Kukar), hingga Paser kembali menegaskan lemahnya upaya pencegahan di Kalimantan Timur. Pola penanganan yang dilakukan pemerintah daerah dari tahun ke tahun dinilai tetap sama: evakuasi warga, pendataan kerusakan, hingga rapat darurat. Namun akar persoalan yang menyangkut pengelolaan sungai lintas wilayah belum pernah disentuh secara serius.
DPRD Kalimantan Timur kini mengambil langkah untuk menyusun aturan baru terkait pengelolaan sungai. Aturan ini diharapkan menjadi payung hukum yang dapat menyatukan arah penanganan banjir lintas daerah, sehingga tidak lagi terjebak pada kewenangan administratif yang selama ini menghambat efektivitas kebijakan.
Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, mengatakan kebutuhan regulasi muncul karena pendekatan penanganan banjir selama ini bersifat reaktif, bukan preventif.
“Selama ini kita bertindak ketika banjir sudah terjadi, bukan sebelum,” ujarnya.
Menurut Demmu, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota selama ini bergerak sendiri-sendiri dengan program sungai masing-masing. Padahal, satu sungai bisa melintasi beberapa wilayah sekaligus sehingga tidak mungkin ditangani secara terputus-putus.
“Pemprov memang punya data teknis, tapi penanganan tetap terkotak-kotak,” katanya.
Ia menyoroti contoh Samarinda dan Kukar yang berbagi aliran sungai besar, namun penanganannya masih berhenti pada batas administratif. Perbaikan di satu titik tidak serta merta melindungi wilayah hilir yang masih terancam.
“Kalau hanya memperbaiki bagian tertentu, daerah lain tetap berisiko,” lanjutnya.
Demmu menegaskan bahwa penyusunan regulasi merupakan tahap awal untuk merumuskan pendekatan mitigasi banjir yang terpadu. Ia menilai pemerintah harus berani menghentikan pola penanganan tahunan yang tidak pernah berubah dan menggeser fokus ke pencegahan jangka panjang.
“Ini soal bagaimana kita keluar dari pola darurat terus-menerus,” tutupnya.*






