Samarinda, Kaltimku.id – Rencana pemindahan aset pemerintah daerah ke pihak swasta kembali memantik perdebatan mengenai batas komersialisasi ruang publik di ibu kota Kalimantan Timur. Wacana itu mengemuka setelah sebuah perusahaan menyodorkan tawaran barter aset untuk membuka kawasan bisnis baru di MT Haryono, salah satu koridor tersibuk Samarinda.
Bagi sebagian pihak, tawaran tersebut dianggap peluang investasi. Namun, bagi DPRD Kaltim, isu ini menyentuh persoalan jauh lebih besar: apakah ruang kota boleh dengan mudah bergeser dari fungsi publik ke kepentingan komersial.
Dalam rapat kerja bersama, Komisi I DPRD Kaltim tak memberikan lampu hijau. DPRD menegaskan bahwa seluruh proses teknis dan legal berada di ranah eksekutif, bukan legislatif.
“Dewan enggak bisa beri persetujuan langsung. Pihak swasta perlu koordinasi ke pemprov biar ditinjau aspek yuridis dan teknisnya,” ujar Wakil Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Agus Suwandi.
Wacana tukar guling ini bukan sekadar perpindahan nilai aset. Di dalamnya terdapat persoalan tata ruang, hak penggunaan lahan, serta keberadaan kantor OPD pemprov yang menjadi titik strategis bagi investor. Pembangunan kawasan bisnis hanya akan dimungkinkan jika kantor OPD dipindahkan, sehingga lahan tersebut bisa dibuka sebagai koridor komersial baru.
Agus menjelaskan bahwa DPRD baru dapat berperan setelah kajian eksekutif rampung. Jika pemerintah provinsi menyatakan rencana tersebut memenuhi ketentuan hukum dan teknis, barulah masuk ke meja DPRD untuk dibahas dan diputuskan secara resmi.
“Kewenangan DPRD hanya di situ,” tegasnya.
Secara tata ruang, MT Haryono memang dipandang sebagai salah satu kawasan dengan potensi konektivitas tinggi karena menjadi penghubung menuju Ring Road II. Investor membayangkan kawasan itu berkembang menyerupai Grand City Balikpapan, pusat bisnis terpadu dengan fasilitas lengkap.
Namun Agus menekankan pentingnya proses yang hati-hati.
“Jangan terburu-buru. Bukan bermaksud memberatkan, tapi ini harus mengikuti aturan berlaku,” ujarnya.
Lahan yang ditawarkan investor disebut berukuran sekitar 200 meter x 20 meter. Meski tidak begitu luas, posisinya berada di jalur strategis sehingga menarik secara ekonomi.
Agus menutup pernyataan dengan mengingatkan bahwa isu tukar guling aset publik ini bukan hanya transaksi bisnis, tetapi diskusi besar mengenai arah pembangunan kota: sejauh mana aset negara boleh dialihkan demi pertumbuhan ekonomi, dan siapa yang benar-benar akan memperoleh manfaatnya.*






