Samarinda, Kaltimku.id — Kebijakan retribusi layanan persampahan yang diberlakukan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mendapat kritik dari Anggota DPRD Kaltim dapil Kukar, Muhammad Husni Fahruddin.
Ia menilai sejumlah ketentuan tarif berpotensi menambah beban masyarakat kecil di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih.
Ayub menjelaskan bahwa beberapa tarif dalam lampiran perda dirasa memberatkan bagi pelaku usaha mikro dan rumah tangga kecil.
Ia mencontohkan sejumlah kategori usaha yang dikenai pungutan bulanan maupun harian.
“Untuk rumah makan sangat kecil tarifnya sepuluh ribu rupiah per bulan, usaha jasa sangat kecil juga sepuluh ribu rupiah. Pedagang pasar dan kios dikenakan lima belas ribu rupiah, bengkel motor kecil dua puluh lima ribu rupiah, sementara pedagang kaki lima dibebani seribu hingga seribu lima ratus rupiah per hari,” jelasnya pada Selasa (25/11/2025)
Ia juga menyampaikan bahwa kategori nonkomersial, termasuk rumah tangga, turut dikenakan retribusi.
Menurutnya, kelompok ini adalah yang paling rentan terdampak oleh kebijakan tersebut.
“Rumah tangga besar dikenakan sepuluh ribu rupiah per bulan, rumah tangga sedang tujuh ribu lima ratus rupiah, dan rumah tangga kecil lima ribu rupiah. Kantor swasta kecil lima puluh ribu rupiah per bulan, sementara pembuangan sampah ke TPA dengan kendaraan sendiri dikenakan empat ribu lima ratus rupiah per meter kubik,” terangnya.
Ayub mempertanyakan kelayakan penerapan pungutan tersebut kepada masyarakat kecil.
Ia menilai pemerintah seharusnya mempertimbangkan kondisi ekonomi warga sebelum menerapkan kebijakan yang berpotensi menambah beban hidup.
“Layakkah pemerintah membebankan retribusi sampah kepada rumah tangga kecil yang hidupnya serba terbatas? Kondisi ekonomi masyarakat masih sulit, sehingga kebijakan seperti ini perlu benar-benar dipertimbangkan,” ungkapnya.
Meski demikian, Ayub mengakui bahwa retribusi sampah dapat dibenarkan jika mengacu pada prinsip polluter pays.
Ia menilai retribusi dapat menjadi instrumen pendanaan yang stabil sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat.
“Retribusi sampah bisa menjadi instrumen pendanaan yang baik jika ditujukan menjaga stabilitas layanan kebersihan, meningkatkan kesadaran masyarakat, serta menciptakan keadilan antarwilayah,” ujarnya.
Namun ia menegaskan bahwa penerapan prinsip tersebut tidak dapat bersifat seragam tanpa mempertimbangkan tingkat kemampuan ekonomi warga.
Menurutnya, pungutan yang bersifat flat justru membuat kelompok miskin menanggung beban lebih besar.
“Sistem seperti ini tidak layak apabila pungutan diberlakukan sama untuk semua tanpa mempertimbangkan pendapatan warga atau kualitas layanan yang mereka terima,” tegasnya.
Untuk itu, Ayub mengusulkan agar pemerintah daerah menerapkan pendekatan yang lebih berkeadilan, termasuk tarif progresif dan pembebasan bagi warga tertentu.
“Pemerintah dapat mempertimbangkan tarif progresif, pembebasan biaya bagi warga dalam DTKS, integrasi layanan agar lebih efisien, serta peningkatan layanan pengangkutan sebelum pungutan diberlakukan sepenuhnya,” sarannya.
Ia menutup dengan penegasan bahwa pungutan hanya dapat dijalankan apabila kebijakannya dirancang dengan adil.
“Pungutan bisa saja diterapkan jika desain kebijakannya tepat. Namun dalam kondisi ekonomi yang sulit, rumah tangga kecil seharusnya tidak diwajibkan agar beban hidup mereka tidak semakin berat,” pungkasnya.
(Adv/DprdKaltim)






