Samarinda, Kaltimku.id – Perdebatan mengenai siapa yang sebenarnya berhak atas ruang publik kembali memanas di Kalimantan Timur setelah aktivitas truk tambang kembali mendominasi jalan nasional. Fenomena ini bukan sekadar persoalan lalu lintas, melainkan menyentuh akar relasi kekuasaan antara masyarakat dan korporasi pengelola sumber daya alam.
Sejumlah titik jalan negara kembali dipadati angkutan tambang, membuat mobilitas warga terhambat. Dalam beberapa situasi, pengendara bahkan harus berhenti total untuk memberi ruang bagi konvoi truk bermuatan berat yang melintas beriringan.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Jahidin, menilai kondisi ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang terus berulang karena negara belum hadir secara tegas.
“Jalan nasional itu dibangun dari uang rakyat, tapi sekarang justru rakyat yang harus mengalah ketika perusahaan tambang lewat. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk ketimpangan struktural,” ujarnya.
Salah satu perusahaan yang menjadi sorotan adalah PT Kaltim Prima Coal (KPC). Laporan publik menyebut angkutan perusahaan masih melintas di jalan negara hanya bermodalkan rekomendasi administratif dokumen yang dinilai tidak memiliki kekuatan hukum memadai untuk mengizinkan aktivitas industri di fasilitas publik tersebut.
Bagi Jahidin, persoalan ini tidak bisa lagi dianggap sebagai salah tafsir regulasi. Ia menilai praktik tersebut menunjukkan bagaimana ruang publik dapat berubah fungsi ketika otoritas pengawasan gagal menjalankan perannya.
“Setiap truk batu bara lewat, masyarakat harus berhenti dulu. Bisa belasan sampai puluhan menit. Ini sangat ironis. Fasilitas publik justru dikalahkan oleh kepentingan bisnis,” katanya.
Ia menegaskan perlunya landasan hukum konkret dan penegakan aturan yang setara bagi seluruh pemangku kepentingan. Menurutnya, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa komitmen informal dari perusahaan sering tidak terealisasi.
“Kita tidak bisa lagi percaya pada komitmen informal. Sudah terlalu sering janji-janji perbaikan jalan atau kompensasi tidak ditepati,” tegasnya.
Jahidin menilai lemahnya implementasi aturan pemerintah mengenai pembatasan penggunaan jalan nasional untuk angkutan non-umum membuat pelanggaran terus berulang. Pertanyaan mendasar kembali mengemuka: antara warga dan korporasi, siapa sebenarnya pemilik ruang publik?
Selama pengawasan tidak diperketat, ia memperkirakan ketimpangan akses ruang publik akan terus menghantui masyarakat, terutama di daerah penghasil batu bara.*






