Samarinda, Kaltimku.id – Polemik pengibaran bendera Jolly Roger menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-80 terus menjadi sorotan publik.
Anggota Komisi III DPRD Samarinda, Abdul Rohim, menilai bahwa fenomena ini sebaiknya dilihat sebagai peluang untuk memahami aspirasi masyarakat, bukan semata-mata sebagai pelanggaran.
Menurut Rohim, penggunaan simbol-simbol budaya populer seperti Jolly Roger sering kali merupakan cara generasi muda mengekspresikan identitas atau menyampaikan keresahan mereka.
“Kritik sosial itu bisa datang dalam berbagai bentuk, termasuk simbol. Tugas kita adalah memahami konteksnya,” ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa sikap overreaktif dari pemerintah atau aparat justru berpotensi memicu gesekan.
“Kalau langsung dilarang atau ditindak keras tanpa dialog, kita khawatir akan muncul persepsi bahwa negara anti-kritik,” tegasnya.
Rohim menekankan bahwa perbedaan pandangan di masyarakat terkait simbol tersebut adalah hal wajar di negara demokrasi. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga kesantunan dan konteks, terlebih di momentum sakral kemerdekaan.
Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk membuka ruang diskusi dengan kelompok atau komunitas yang mengibarkan bendera tersebut. Langkah ini dinilai lebih efektif untuk menemukan solusi yang saling menghargai.
“Kalau memang tujuannya bukan menghina, tapi menyampaikan pesan, harusnya ada jalan tengah,” ujarnya.
Meskipun demikian, Rohim tetap menegaskan bahwa simbol negara memiliki nilai historis dan emosional yang harus dijaga.
Ia berharap semua pihak dapat saling menghormati, agar perayaan HUT RI berlangsung khidmat tanpa menghilangkan ruang kebebasan berekspresi.*