Samarinda, Kaltimku.id — Kasus dugaan kekerasan dan penelantaran terhadap NR (Inisial), seorang balita yang menderita ADHD dan epilepsi, memunculkan kegelisahan mendalam di kalangan publik Samarinda.
Tubuh kecil NR yang ditemukan penuh luka, benjolan di dahi, sering kejang, hingga tampak tidak terawat, menjadi potret pilu lemahnya perlindungan anak di Kota Tepian.
Cerita memilukan ini terungkap setelah Reni Lestari, ibu asuh yang mendapatkan kuasa penuh dari ibu kandung NR sejak 21 Maret 2025, membawa balita tersebut untuk diperiksa. Melihat kondisinya yang memprihatinkan, keluarga pun langsung bergerak cepat mencari perawatan medis.
Namun proses pengobatan NR ternyata tidak semulus harapan. Beberapa rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, sempat ragu memberikan tindakan medis lanjutan. Mereka khawatir upaya medis yang dilakukan bisa mempengaruhi alat bukti dalam proses hukum yang sedang berjalan.
Kondisi ini memancing reaksi tegas dari Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie. Menurutnya, keselamatan dan kesehatan Naswa semestinya menjadi prioritas mutlak semua pihak. Ia tidak ingin prosedur hukum menjadi alasan untuk menunda perawatan medis yang sangat dibutuhkan anak tersebut.
“Yang paling penting hari ini adalah memastikan NR bisa sehat kembali. Jangan sampai hanya karena prosedur, rumah sakit takut bertindak. Ini soal nyawa anak, bukan sekadar dokumen administrasi,” tegas Novan.
Novan mengungkapkan bahwa kepolisian telah memastikan rekam medis pertama pada 13 Mei 2025 sudah dijadikan dasar utama proses hukum. Dengan demikian, tindakan medis lanjutan tidak akan mempengaruhi jalannya penyidikan.
“Kalau rekam medis awal sudah diamankan sebagai dasar pembuktian, maka tidak ada alasan lagi rumah sakit menunda tindakan. Saya minta jangan biarkan NR terus menanggung sakit hanya karena kita terlalu birokratis,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya koordinasi lintas sektor. Mulai dari kepolisian, kejaksaan, rumah sakit, hingga pemerintah kota harus duduk bersama, menyepakati standar penanganan anak korban kekerasan agar tidak ada keraguan lagi di kemudian hari.
“Kita ini bicara soal anak berusia empat tahun yang bahkan tidak bisa mengungkapkan rasa sakitnya sendiri. Kalau kita semua terlalu takut salah prosedur, siapa yang akan berpihak pada anak ini?” ucapnya.
Ia menegaskan DPRD akan terus mengawal kasus ini. Meskipun lembaga legislatif tidak memiliki kewenangan dalam proses penyidikan, namun DPRD memikul tanggung jawab moral dan politik agar tidak ada anak lain yang mengalami nasib serupa.
“Silakan proses hukum terus berjalan. Tapi DPRD akan memastikan semua pihak serius memulihkan kesehatan NR. Jangan sampai perhatian kita hanya heboh sesaat, lalu anak ini kembali dibiarkan menderita dalam diam,” pungkasnya.***