Samarinda, Kaltimku.id – Anggota Komisi I DPRD Samarinda, Adnan Faridhan, mengkritisi fenomena buzzer yang semakin masif di Indonesia. Menurutnya, keberadaan buzzer dalam dunia politik bukanlah hal baru, tetapi kini telah berkembang menjadi ancaman nyata bagi demokrasi.
Buzzer yang seharusnya hanya menjadi alat komunikasi kini berubah menjadi senjata untuk membungkam kritik dan menekan kebebasan berpendapat.
Fenomena ini, kata Adnan, tidak hanya muncul saat momen politik seperti pemilu, tetapi telah menjadi pola yang terus berlanjut hingga saat ini. Buzzer sering kali muncul saat ada kritik terhadap kebijakan pemerintah, membentuk narasi yang menyerang individu atau kelompok yang berani bersuara.
“Seketika buzzer muncul dengan narasi-narasi negatif yang memojokkan pengkritik,” katanya.
Menurutnya, fenomena ini sangat berbahaya karena dapat menciptakan ketakutan di tengah masyarakat. Orang-orang yang memiliki gagasan dan keberanian untuk berpendapat bisa menjadi enggan berbicara karena takut diserang oleh kelompok buzzer yang terorganisir.
“Kita harus memastikan bahwa ruang demokrasi tetap terbuka. Jangan sampai masyarakat yang kritis justru dipersekusi dan dikucilkan hanya karena menyampaikan pandangan mereka,” tegasnya.
Lebih lanjut, Adnan menyoroti bagaimana keberadaan buzzer berdampak buruk pada kualitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang sehat membutuhkan kritik dan masukan dari berbagai pihak, tetapi jika kritik selalu disambut dengan serangan dari buzzer, maka pemerintahan yang terbuka dan transparan akan sulit terwujud.
“Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Jika pemerintah justru dikelilingi oleh kelompok-kelompok yang bertugas membungkam kritik, maka yang terjadi adalah pemerintahan yang antikritik dan enggan menerima masukan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa kritik bukanlah ancaman, melainkan sebuah alat untuk memperbaiki kebijakan yang ada. Kritik yang membangun seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan malah dianggap sebagai serangan yang harus dilawan dengan buzzer.
“Padahal jika kita benar, kenapa harus takut? Mengutip juga apa kata Pak Gubernur (Rudy Mas’ud), kalau bersih kenapa harus risih,” lanjutnya.
Adnan juga menyoroti peran media sosial dalam memperkuat dampak dari aktivitas buzzer. Dengan algoritma yang memungkinkan informasi menyebar dengan cepat, konten yang menyerang para pengkritik pemerintah sering kali mendapatkan eksposur luas.
Buzzer memanfaatkan media sosial untuk membangun opini publik dengan narasi yang terstruktur. Mereka bisa menggunakan akun anonim, bot, atau akun yang dikelola secara profesional untuk menyerang pihak tertentu dan membentuk persepsi di masyarakat.
“Serangan buzzer ini terstruktur, sistematis, dan masif. Ini bukan sekadar individu yang membela pemerintah, tetapi ada pola dan strategi yang dijalankan untuk mengontrol opini publik,” ujar Adnan.
Hal ini diperparah dengan rendahnya tingkat literasi digital di masyarakat, yang membuat banyak orang mudah terprovokasi oleh informasi yang disebarkan buzzer tanpa memverifikasi kebenarannya.
“Kita harus meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh propaganda buzzer. Literasi digital sangat penting agar kita tidak menjadi korban manipulasi informasi,” tambahnya.
Sebagai anggota DPRD, Adnan mendesak pemerintah untuk mengambil sikap tegas terhadap fenomena ini. Menurutnya, pemerintah harus menunjukkan keberanian untuk membuka ruang diskusi yang sehat dan tidak membiarkan buzzer mendominasi ruang publik.
“Pemerintah harus berani menunjukkan keterbukaan terhadap kritik. Jangan malah membiarkan buzzer bekerja untuk membungkam suara rakyat,” tegasnya.
Ia juga meminta aparat penegak hukum untuk bertindak terhadap akun-akun buzzer yang menyebarkan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian.
“Hukum harus ditegakkan secara adil. Jangan sampai masyarakat yang kritis justru dikriminalisasi, sementara buzzer yang menyebarkan kebohongan dibiarkan bebas,” katanya.
Adnan berharap semua pihak, baik pemerintah, media, maupun masyarakat, dapat berperan dalam menjaga demokrasi agar tetap sehat dan terbuka. Ia mengajak masyarakat untuk tidak takut bersuara dan tetap kritis dalam menyikapi kebijakan yang ada.
“Kita semua bertanggung jawab atas masa depan demokrasi di negeri ini. Jangan biarkan suara-suara kritis dibungkam hanya karena ada pihak-pihak yang merasa terganggu,” pungkasnya.***