Samarinda, Kaltimku.id – Kritik mahasiswa yang mengusung hashtag Indonesia Gelap mendapat tanggapan dari Anggota Komisi II DPRD Samarinda, Sani Bin Husain. Menurutnya, kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari demokrasi yang sehat dan tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman.
“Saya mendukung rekan-rekan mahasiswa. Kritik itu bagian dari demokrasi. Justru dengan adanya kritik, pemerintah bisa melihat mana yang perlu diperbaiki. Jangan malah reaktif terhadap suara rakyat,” ujar Sani.
Sebagai politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mewakili Dapil 4 Samarinda, Sani menegaskan bahwa perbedaan pendapat harus disikapi dengan kepala dingin. Ia mengingatkan bahwa tanpa kritik, negara justru kehilangan kontrol dari rakyatnya.
“Kalau semua diam, justru itu yang bahaya. Artinya, masyarakat sudah kehilangan harapan. Selama rakyat masih bersuara, berarti mereka masih peduli dengan negara ini,” tegasnya.
Sani menilai bahwa istilah Indonesia Gelap harus dijadikan bahan refleksi, bukan sesuatu yang ditolak mentah-mentah. Ia menyoroti empat faktor utama yang menentukan apakah Indonesia benar-benar dalam kondisi “terang” atau justru “gelap”.
“Kalau ada yang bilang Indonesia gelap, mari kita buktikan apakah Indonesia memang terang. Ada empat indikator yang harus kita lihat,” jelasnya.
Menurut Sani, salah satu tanda utama kesejahteraan masyarakat adalah kestabilan harga kebutuhan pokok. Jika harga pangan terus melonjak dan daya beli masyarakat menurun, maka wajar jika rakyat merasa hidup dalam kondisi “gelap”.
“Kalau harga bahan pokok mahal, rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apakah itu tanda negara yang terang? Jelas tidak,” ujarnya.
Faktor kedua yang menentukan adalah ketersediaan lapangan kerja. Sani menyoroti banyaknya masyarakat yang terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri karena sulitnya peluang kerja di dalam negeri.
“Indonesia terang itu kalau rakyatnya bisa bekerja di dalam negeri dengan penghasilan yang layak. Tapi kalau banyak yang harus pergi ke luar negeri demi mencari nafkah, bukankah itu tanda ada yang salah?” katanya.
Sani juga menekankan bahwa negara yang benar-benar demokratis harus menjamin kebebasan berekspresi bagi rakyatnya. Ia menilai bahwa seni, budaya, hingga kritik terhadap pemerintah harus dihargai sebagai bagian dari demokrasi.
“Kalau setiap ekspresi dikekang, kritik dibungkam, dan rakyat takut berbicara, itu bukan negara terang. Justru itu tanda kegelapan. Indonesia terang adalah Indonesia yang menjamin kebebasan rakyat untuk bersuara,” ucapnya.
Indikator terakhir yang menurut Sani menentukan apakah Indonesia benar-benar “terang” adalah sejauh mana negara melindungi seluruh rakyatnya. Ia menekankan pentingnya implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Jika keadilan sosial belum merata, hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, serta rakyat belum merasa aman dan sejahtera, maka wajar jika masih ada yang mengatakan Indonesia gelap,” lanjutnya.
Sani menegaskan bahwa selama keempat indikator ini belum terpenuhi, kritik dari masyarakat adalah sesuatu yang wajar.
“Gelap itu bukan sekadar soal listrik mati. Gelap itu ketika rakyat merasa tidak memiliki arah, tidak memiliki harapan. Jadi jangan salahkan rakyat kalau mereka merasa seperti itu,” tambahnya.
Sani juga menegaskan bahwa gerakan mahasiswa dengan hashtag Indonesia Gelap tidak boleh dianggap sebagai bentuk kebencian terhadap negara, melainkan sebagai wujud kepedulian.
“Hashtag ini bukan berarti mereka ingin menjatuhkan negara. Justru ini tanda bahwa mereka masih peduli. Kalau mereka tidak peduli, mereka tidak akan bersuara,” imbuhnya.
Ia mengingatkan pemerintah untuk lebih terbuka terhadap kritik dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi.
“Selama masih ada kritik, berarti masih ada harapan. Yang perlu dilakukan pemerintah bukan membungkam, tapi mendengar dan bertindak,” pungkasnya.***