Samarinda, Kaltimku.id – Persoalan pendidikan masyarakat kembali menjadi sorotan serius di kalangan legislatif. Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Ismail Latisi, menekankan bahwa langkah pertama dan paling krusial dalam mengatasi rendahnya tingkat pendidikan di kota ini adalah memastikan keakuratan dan validitas data yang dimiliki oleh pemerintah.
Ismail menilai bahwa kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut sektor pendidikan, harus didasarkan pada data yang benar-benar faktual dan terverifikasi. Ia mempertanyakan apakah benar masih banyak warga Samarinda yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali.
“Kalau memang datanya menyebutkan bahwa ada banyak warga yang hanya tamat SD atau bahkan tidak menyelesaikan pendidikan dasar, maka itu menjadi tanggung jawab kita bersama, terutama pemerintah kota, untuk segera mencari solusi yang konkret,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ismail menyampaikan bahwa rendahnya tingkat pendidikan memiliki dampak yang sangat luas terhadap kehidupan sosial masyarakat. Salah satunya adalah meningkatnya angka pengangguran.
“Ketika pendidikan rendah, maka akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak juga terbatas. Ini akan berujung pada meningkatnya angka pengangguran. Dan ketika pengangguran tinggi, persoalan sosial lainnya akan ikut muncul, mulai dari kemiskinan hingga kriminalitas,” tegasnya.
Namun, ia juga menyampaikan bahwa secara makro, indikator pendidikan di Kota Samarinda sebenarnya cukup menggembirakan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Samarinda tercatat sebagai yang tertinggi di Kalimantan Timur, bahkan melampaui rata-rata nasional dengan skor mencapai 85.
Pendidikan merupakan salah satu komponen utama dalam pengukuran IPM, bersama dengan kesehatan dan daya beli masyarakat. Capaian ini menunjukkan bahwa secara umum, kualitas pendidikan di Samarinda sudah cukup baik.
Namun demikian, Ismail mengingatkan bahwa data IPM bersifat agregat dan belum tentu mencerminkan realitas sosial di tingkat akar rumput. Bisa jadi, masih ada kantong-kantong masyarakat di wilayah pinggiran atau permukiman padat yang belum tersentuh akses pendidikan yang memadai.
“Maka dari itu, validasi data menjadi sangat penting. Jangan sampai kita mengeluarkan kebijakan berbasis asumsi atau data yang tidak akurat. Kita perlu tahu dulu siapa yang benar-benar belum bersekolah, apakah mereka warga Samarinda yang sudah ber-KTP, atau justru pendatang yang belum tercatat secara administratif,” jelasnya.
Ismail juga menyarankan agar Pemerintah Kota Samarinda, melalui Dinas Pendidikan, menggandeng RT, kelurahan, dan pihak sekolah untuk melakukan pendataan menyeluruh. Dengan demikian, program-program seperti beasiswa, pendidikan gratis, hingga peningkatan kualitas guru bisa lebih tepat sasaran.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan data sekolah saja. Karena bisa jadi ada anak-anak usia sekolah yang memang tidak pernah terdaftar di sekolah manapun. Ini yang harus kita kejar melalui sinergi lintas sektor,” tambahnya.
Ia menutup pernyataannya dengan harapan agar Pemkot Samarinda mampu membangun sistem pendidikan yang tidak hanya kuat secara indikator angka, tetapi juga adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
“Kalau kita serius ingin membangun masa depan Samarinda, maka pendidikan adalah pondasi utamanya. Dan pondasi itu harus dimulai dari data yang benar,” pungkasnya.*