KALTIMKU.ID – INDUSTRIALISASI minyak dan gas (migas) modern sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, dan industri tersebut telah memainkan peran dominan bagi pertumbuhan ekonomi di berbagai belahan dunia, baik dari sisi penghasilan maupun dari sisi pengguna. Di Indonesia, industri migas sudah dieksploitasi lebih dari 125 tahun, berawal dari ditemukannya sumur minyak bumi pertama di Desa Telaga Said, Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut).
Miliaran barel migas telah mengalir dari dalam perut bumi yang menjadi sumber pendapatan bagi negara, juga sebagai salah satu motor penggerak perekonomian nasional setiap tahunnya.
Penerimaan negara dari sektor hulu migas pada tahun 2015, (1 Januari – 31 Desember 2015) mencapai USD 11,9 miliar. Yakni dari sektor minyak bumi sebesar USD 5,7 miliar dan dari penerimaan gas bumi sebesar USD 5,2 miliar. Angka tersebut memenuhi 86% target penerimaan negara. Ini berarti sektor migas di Indonesia merupakan sektor strategis dalam mendorong roda perekonomian nasional.
Industri hulu migas nasional pun mencapai masa kejayaannya pada kisaran tahun 1970-1990an. Pada tahun 1977 jumlah produksi minyak bumi nasional sebesar 1,65 juta barel per hari, dan Indonesia masuk dalam jajaran 11 negara produsen minyak terbesar di dunia. Tahun 1980 cadangan minyak bumi nasional berada di angka 11 miliar barel dan Indonesia juga masuk 15 negara yang punya cadangan minyak bumi terbesar di dunia. Indonesia pun menjadi salah satu anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC).
Masa-masa jaya yang pernah diraih industri hulu migas nasional kini telah berlalu. Dunia industri hulu migas seakan menuju senja kala. Khususnya pada minyak bumi yang produksinya terus merosot dari tahun ke tahun. Impor minyak mentah dan BBM (bahan bakar minyak) terus meningkat tajam. Tren penurunan produksi siap jual atau lifting terutama pada minyak bumi, tentu saja hal tersebut menimbulkan riak kekhawatiran sektor hulu migas nasional.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, realisasi lifting minyak bumi pada 2024 berada di angka 579.700 BOPD (Barrel of Oil Per Day), melanjutkan tren kemerosotan dari tahun-tahun sebelumnya. Dua tahun sebelumnya atau pada tahun 2022 realisasinya sebesar 612.300 BOPD dan tahun 2023 berada di angka 605.000 BOPD.
Kendala atau sulitnya Indonesia menaikkan lifting minyak bumi lantaran banyaknya lapangan-lapangan migas yang sudah berusia sangat tua. Namun, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang dinakhodai oleh Djoko Siswanto, memiliki tiga kiat dalam upaya peningkatan produksi migas nasional yang telah ditetapkan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2025.
SKK Migas bersama KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) terus bekerja keras agar target 605 ribu barel tercapai. Sebanyak 15 proyek hulu migas bisa onstream atau beroperasi secara penuh, dibarengi kegiatan pemboran 993 sumur pengembangan yang akan dikerjakan oleh KKKS.
Terkait dengan upaya peningkatan produksi migas, SKK Migas memiliki tiga strategi. Pertama, optimalisasi produksi dan teknologi. Kedua, reaktivasi sumur idle dan lapangan idle, dan yang ketiga eksplorasi masif. Untuk mencapai semua itu, SKK Migas mengharapkan dukungan dari kementerian dan instansi lain terkait perizinan di hulu migas, agar semua bisa berjalan dengan baik.
Dukungan dari para pemangku kepentingan juga akan menjadi daya pikat investor hulu migas, sehingga investasi hulu migas dapat terus meningkat untuk mendukung ketahanan energi nasional.*** (Herry Trunajaya)