Tuhan rupanya mendengar keinginan hamba-Nya. Hujan betul-betul tumpah sepulang aku dari pratikum kimia sore ini. Aku berlari-lari ke emper toko itu, dan ternyata cowok yang kuharap-harapkan sudah berdiri di sana. Aku basah kuyub dan benar-benar kedinginan. Tubuhku menggigil.
“Rambutmu basah. Nggak membawa saputangan?” tanya cowok itu dengan lembut. Aku menggeleng dan sedikit menyesal bahwa aku melupakan sapu tanganku.
Cowok itu mengambil saputangan dari sakunya dan diberikannya padaku. Dalam hati aku meralat penyesalanku lupa membawa saputangan.
“Biar bukumu aku bawakan,” katanya lagi. Aku menyerahkan saja. Aku tak peduli kedokku akan terbongkar. Kini aku betul-betul kedinginan sampai gigiku gemeletuk.
Tatapan cowok itu lembut, Mama. Tatapannya membuat hatiku tak karuan dentamnya. Aku bahkan tidak menolak ketika lengan cowok itu melingkari bahuku. Alangkah lembutnya. Aku tidak mengerti kenapa aku tak kuasa menolak, padahal di kelas aku selalu mencak-mencak karena dicolek teman cowok iseng.
Namun, saat ini, kenapa aku tidak bisa marah? Bahkan terasa jantungku berdetak tak menentu. Ternyata wajah yang dingin itu menyimpan kehangatan di dalamnya. Ah, Muhammad Ramadhan. Tadinya aku bermaksud mempermainkannya, tapi rupanya aku telah takluk.
Pukul delapan tepat hujan baru berhenti. Bus dan kendaraan umum lain telah sepi. Cowok itu membimbingku lembut.
“Namaku Arji,” katanya ringan. Aku tersenyum dalam hati. Tentu saja aku tidak terkejut. Aku telah tahu siapa dirimu sebenarnya, Muhammad Ramadhan, mahasiswa teladan kesayangan papaku.
“Aku Aura!” sambutku datar.
“Masih dingin?”
“Gak seberapa. Tapi kurasa aku kemalaman kali ini.”
“Akan kuantar sampai ke rumah. Bolehkan kali ini?”
“Dengan senang hati,”sahutku. Ia tersenyum.
“Betulkah Aura kuliah di sastra?” tanyanya membuat terperanjat, tapi aku masih bisa tersenyum.
“Emangnya kenapa?”
“Kau seperti anak SMA. Lagi pula buku kimiamu yang itu masih kau bawa. Apa dipinjam adik temanmu lagi.”
Aku tersenyum kecut. “Ya, aku kuliah di SMA 55, tapi entar lagi aku toh jadi mahasiswa juga.”
“Mau masuk fakultas apa?”
“Fakultas kedokteran. Itu cita-citaku, meski Papa ingin aku masuk Fakultas Teknik Arsitektur. Entahlah, rupanya Papa aku sudah begitu simpati dengan Muhammad Ramadhan, mahasiswa teladan yang top itu. Pernah baca di koran tentang Muhammad Ramadhan, kan?”
Cowok di sisiku ini tidak tampak terkejut atau heran. Tenang-tenang saja ia mendengarkan sambil mengangkat alisnya.
Aku yang mengharapkan terjadinya surprais terpaksa diam-diam menelan kekecewaan karena perangkapku tak mengenai sasaran.
“Ya, aku pernah baca tentang si mahasiswa teladan itu,” katanya tenang. “Oya, aku ingat, kudengar dia sedang mencari pacar. Biasanya cewek-cewek menyukai calon-calon insinyur,” terdengar lembut. Mama, hatiku berdesir.
Uh, sombongnya, pikirku. Kalau saja kamu tahu siapa papaku!
“Betul juga. Aku juga dengar berita itu. Karena itu aku mau liat tampangnya, kalo memenuhi standar sebagai cowok idolaku, aku mau daftar untuk bisa jadi pacarnya,” kalimat itu lepas dari mulutku seenaknya, dan baru kali ini kulihat dia terkejut. Aha.
“Aura?” tanyanya heran. Aku mengangguk, meski dalam hati aku bergidik juga, memikirkan akibat dari kata-kataku tadi.
“Alangkah beruntungnya dia. Heran, cewek-cewek sekarang selalu silau dengan lelaki yang bertitel, walau kadang usia mereka terpaut jauh.”
“Kau jangan salah paham. Aku bukan cewek macam itu!” sahutku agak tersinggung.
“Aku sudah baca tentang pribadi orang itu dan aku menyukainya. Nggak peduli calon insinyur atau supir truk, yang penting bagiku adalah pribadinya!”
Ia tersenyum-senyum. Huh, begitu berapi-api aku bicara ternyata dia tenang-tenang saja. Bah!
“Maaf. Buat apa kita berdebat soal itu? O, ya mana rumahmu?” Masih tersenyum menawan, hingga aku jadi terseret untuk tersenyum.
“Itu…,” kataku tenang ketika kami sampai di pintu pagar. Ia sedikit terheran-heran. Aku tertawa dalam hati. Tenang saja aku memasuki halaman rumahku.
“Aura, tunggu!” teriaknya.
“Ada apa?”
“Ini… kau… kau?”
“Ya, aku memang putri tunggal Pak Halido. Dan sekarang kau gak usah ngotot lagi. Namamu bukan Arji, tapi Muhammad Ramadhan, calon insinyur, mahasiswa teladan, kesayangan Papa, pemegang bea siswa, dan bukan mahasiswa hukum yang drop-out. Betul?”
Ia masih tercengang, tapi cepat menguasai dirinya.
“Aku memang Muhammad Ramadhan, biasa dipanggil Rama,” katanya lirih.
“Mana buku aku, Arji?” Aku mengangsur tanganku.
“Sebentar. Nah, sekarang kau udah tau tentang diri aku,” kata Rama, sambil meraih tanganku tanpa kuduga. Dadaku bergemuruh.
“Sekarang aku mau tanya satu hal. Aura tadi bilang mau daftarkan diri sebagai pacar Muhammad Ramadhan? Sekarang Aura udah terdaftar sebagai calon pertama dan terakhir. Setuju?”
“Maksudmu?” tanyaku tolol.
“Aku, Muhammad Ramadhan menerima pendaftaran itu!”
Aku terkejut. Dadaku gemuruh tak karuan. Mama, apa ini namanya cinta? Aku mau tertawa, tapi tidak jadi, karena mata Rama menatapku dengan lembut dan berpijar indah.
“Tapi, kalo tampangnya memenuhi standar bagiku!”
“Apakah tampangku kurang memenuhi standar?”
“Lepaskan aku, Rama,” kataku lirih.
“Entar dulu. Aura belum jawab pertanyaanku. Gimana, Aura?” Rama masih memegang tanganku. “Katakan bersedia jadi pacarku, kekasihku, sahabatku, seperti kata-katamu tadi!” Rama tersenyum. Senyum yang di mataku semakin memesona. Entah pesona apa yang memukauku, aku kemudian menganggukkan kepalaku.
“Makasih Aura. Sejak kita bertemu, aku udah menduga kau adalah gadis idolaku. Aku terus menunggumu di emper toko itu. Ya, harus aku akui, aku mencintaimu…”
Aku menunduk dengan hati berbunga. Aku tak tahu apa yang harus aku ucapkan sebagai ungkapan perasaanku…
“Kutemukan kau di sela-sela warna hujan,” bisik Rama.
Kami lantas berbimbingan memasuki halaman rumah dengan perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
“Masih dingin?”
“Ya, masih. Sangat dingin,” aku tersipu.
Rama meraih kedua bahuku. Kini kami saling berhadapan, saling berpandangan.
“Pernah kau menyaksikan hujan berwarna?” tiba-tiba tanya Rama aneh.
Aku tidak tahu, aku menggeleng perlahan.
“Hujan berwarna hanya dapat dirasakan oleh dua pasang mata dan dua hati yang saling bertautan. Hatimu dan hatiku. Hati kita, Aura…”
Aku merasakan di antara air hujan yang dingin, ada juga air hangat panas mengaliri pipiku. Dan aku telah mengerti kini, aku telah menyaksikan hujan yang berwarna-warni saat Rama mengecup lembut keningku.* (Dimuat di Majalah Anita Cemerlang, Edisi 226′ 1987)