SAMARINDA, Kaltimku.id — Kekhawatiran atas rencana pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) oleh pemerintah pusat kini berkembang menjadi isu yang lebih fundamental, yakni ancaman terhadap kedaulatan fiskal daerah. Di Kalimantan Timur, reaksi keras tidak hanya datang dari Pemerintah Provinsi, tetapi juga dari DPRD yang menilai kebijakan tersebut berpotensi melemahkan fondasi keuangan daerah dalam jangka panjang.
Sebagai salah satu daerah penghasil migas dan tambang utama nasional, Kaltim selama puluhan tahun menjadi penopang penerimaan negara. Dalam konteks tersebut, DBH tidak dipandang sekadar sebagai komponen anggaran rutin, melainkan instrumen penting untuk menjamin keberlanjutan layanan dasar bagi masyarakat.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Sugiyono, menegaskan bahwa DBH merupakan hak konstitusional daerah penghasil yang telah diatur secara jelas dalam regulasi nasional.
“DBH itu hak daerah, bukan bonus,” tegas Sugiyono.
Menurutnya, setiap kebijakan yang menyentuh DBH harus mempertimbangkan keadilan fiskal serta kontribusi daerah terhadap penerimaan negara. Karena itu, ia menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Pemerintah Provinsi Kaltim yang secara tegas menolak rencana pemotongan tersebut.
“Saya mendukung penuh sikap Pemprov Kaltim. Ini penting untuk menjaga keadilan fiskal dan keberlangsungan pembangunan daerah,” ujarnya.
Sugiyono mengingatkan bahwa jika pemotongan DBH benar-benar dilakukan, dampaknya tidak hanya tercermin pada angka belanja daerah, tetapi juga akan langsung dirasakan masyarakat melalui terganggunya pelayanan publik, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur dasar.
Ia menilai, ketergantungan daerah terhadap DBH bukanlah bentuk kelemahan, melainkan konsekuensi logis dari sistem keuangan negara yang menempatkan daerah penghasil sebagai mitra strategis pembangunan nasional.






