Samarinda, Kaltimku.id — Meningkatnya frekuensi banjir di sejumlah wilayah Kalimantan Timur menjadi cerminan dari persoalan lingkungan yang belum tertangani secara tuntas. Salah satu faktor yang dinilai berkontribusi besar adalah laju deforestasi yang masih terjadi dan belum diimbangi dengan pemulihan hutan yang efektif.
Anggota DPRD Kalimantan Timur, Sarkowi V Zahry, menyoroti kondisi tersebut dengan merujuk pada data Global Forest Watch yang mencatat kehilangan tutupan hutan di Kaltim mencapai sekitar 57 ribu hektare. Angka ini, menurutnya, bukan sekadar statistik, melainkan peringatan atas dampak ekologis yang mulai dirasakan langsung oleh masyarakat.
Ia menyampaikan bahwa dari sisi kebijakan, pemerintah sebenarnya telah memiliki berbagai instrumen untuk mengendalikan kerusakan hutan. Program rehabilitasi dan reklamasi lahan sudah tersedia sebagai bagian dari kewajiban pengelolaan lingkungan. “Pemerintah sejatinya telah memiliki berbagai program untuk menekan laju kerusakan hutan, mulai dari rehabilitasi hingga reklamasi lahan,” ujarnya.
Namun demikian, Sarkowi menilai persoalan krusial justru muncul pada tahap pelaksanaan. Pengawasan di lapangan dinilai belum berjalan optimal, sehingga kewajiban pemulihan lingkungan kerap hanya dipenuhi secara administratif tanpa hasil nyata.
Ia mencontohkan kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) oleh perusahaan. Menurutnya, keberhasilan rehabilitasi tidak bisa diukur hanya dari jumlah bibit yang ditanam. “Penanaman pohon saja tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan jika tidak diikuti dengan pemantauan berkelanjutan terhadap hasilnya,” tambahnya.
Lebih jauh, Sarkowi menegaskan perlunya indikator yang jelas dalam menilai keberhasilan pemulihan hutan. Mulai dari kejelasan lokasi, luasan area rehabilitasi, hingga tingkat keberlangsungan tanaman harus menjadi bagian dari evaluasi. Tanpa ukuran yang konkret, program pemulihan berisiko hanya menjadi formalitas.
Ia juga mengingatkan agar perhatian tidak terjebak pada perdebatan soal angka deforestasi semata. Yang lebih penting, menurutnya, adalah langkah konkret untuk memulihkan kawasan hutan yang telah rusak melalui perencanaan terpadu dan berbasis data.
Kalimantan Timur, lanjut Sarkowi, memiliki posisi strategis dalam skema pendanaan karbon. Potensi tersebut perlu dimanfaatkan sebagai sumber pendanaan alternatif agar upaya menjaga tutupan lahan tidak sepenuhnya bergantung pada APBD.
Selain pendanaan, ketersediaan data yang akurat dan terintegrasi antar lembaga dinilai sangat penting. Data yang kuat akan memperkuat dasar kebijakan dan mencegah perbedaan tafsir yang dapat melemahkan upaya perlindungan lingkungan.
“Semoga dengan perbaikan pengawasan dan pengelolaan data yang kuat, upaya pemulihan hutan di Kaltim dapat berjalan lebih terarah dan berkelanjutan,” harap Sarkowi. (Adv/DprdKaltim)






