Elegi Daun Luruh [2-Habis]

“Kau salah sangka Julita. Sekarang ini Nesi ada di Rumah Sakit Balikpapan Husada. Sudah empat hari ini penyakitnya kambuh!”

“Hah!” Aku terkejut juga, “kau jangan main-main, Sufi!”

Bacaan Lainnya

“Ayolah!”

Sufi melompat ke atas mobil. Aku mengikutinya.

“Kenapa baru sekarang kau mengabariku?” kataku beberapa saat kemudian, setelah aku mampu menenangkan perasaanku.

“Karena kau belakangan ini selalu menghindariku. Tak pernah mau menerima kontak dariku, juga membalas SMS aku. Kau terlalu dibakar cemburu sebelum tahu  persis persoalannya,” sahut Sufi sambil tetap waspada dengan suasana lalu lintas Jalan Yos Sudarso.

Aku diam. Sufi juga. Sufi melarikan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Diam-diam aku melirik wajah tampan Sufi. Ah, telah berapa lamakah aku tidak lagi duduk di sisinya seperti saat ini? Rasanya telah berabad-abad. Kembali dadaku berguncang.

Sufi membawaku pada ruang ICCU. Di sana sudah duduk terpekur papa dan mama Nesi Arasene. Mata kedua orang tua Nesi nampak sembab.

“Tante…,” suaraku hampir berbisik.

Wanita setengah baya itu mengangkat mukanya. Lalu segera mengambur memelukku.

“Julita… kanker usus Nesi kambuh lagi,” suara mama Nesi lirih.

Kanker usus? Aku pun tak mampu menekan keharuanku. Air mataku tumpah. Tapi, kenapa Nesi tidak pernah menceritakan penderitaannya itu?

Pintu kamar kaca itu terbuka. Seorang dokter dan dua orang suster keluar dengan wajah suram. Ternyata jiwa Nesi tak tertolong lagi.

Tangis mama Nesi meledak. Semakin erat memeluk tubuhku. Air mataku semakin tumpah. Sementara papa Nesi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kedua bahu lelaki itu berguncang. Dan, Sufi yang duduk di sisi papa Nesi terpekur dalam.

Mama Nesi memberikan buku harian milik Nesi padaku, sepulang pemakaman yang dihadiri banyak pelayat.

“Nak Ita, ini buku harian Nesi dimana sebelum dia mengalami koma dan tak pernah siuman hingga dia pergi untuk selamanya, berpesan agar buku ini diberikan kepadamu.”

“Ya, Tante,” dengan haru aku memeluk mama Nesi. Wanita itu balas memelukku erat.

“Sekarang Nesi sudah tiada, tapi Tante harap Ita masih mau main-main ke rumah…,” sendatnya lirih. Aku mengangguk.

“Tentu Tante,” aku menarik bibir mencoba tersenyum. “Ita permisi dulu Tante,” pamitku.

Aku langsung mengurung diri di dalam kamar. Sufi yang tadi ingin mengantarkan aku pulang tidak kuhiraukan. Kepedihan begitu pepat memenuhi rongga dadaku.

“Nanti juga kau akan mengetahuinya Julita…,” terngiang kembali kata-kata Nesi sebelum meninggalkan teras rumahku sore yang redup itu. Sampai di hari kepergiannya, aku belum mengerti maksud kalimat Nesi itu. Apakah  buku harian mungil yang sekarang ada di tanganku ini akan membuka tabir kepergian Nesi, sahabatku…

Julita, sahabat dan saudaraku tersayang… Sejak sore itu persahabatan kita memang menjadi renggang. Tapi Esi yakin kau masih membaca mau buku kecil ini hingga tamat. Agar kau mengerti apa yang jadi pangkal ‘bencana’ bagi persahabatan kita…

Esi akui dengan jujur, aku memang sengaja menjerat Sufi agar mengkhianatimu dan beralih mencintaiku. Dengan begitu Esi punya bukti untuk mengadukan kebrengsekan Sufi padamu. Bahwa, Sufi sama saja dengan lelaki kebanyakan. Pengkhianat cinta. Dan, kau membencinya. Namun segala skenario yang telah kususun dengan rapi gagal pada babak awal. Kau telah mencium rencana jahat Esi…

Aku beranjak dari ranjang menuju ke depan meja tulis. Kemudian aku kembali membaca lembar berikutnya.

Esi sendiri tidak mengerti kenapa tega berbuat sekeji itu padamu. Sungguh tidak Esi mengerti. Kenapa sejak kau akrab dan menjalin cinta dengan Sufi, aku merasa sangat kehilangan dirimu. Lantas aku berupaya untuk menggaet Sufi. Apalagi, aku tanpa sengaja pernah mencuri dengar pembicaraan dokter pribadi keluarga kami dengan Papa dan Mama, bahwa umur Esi tidak lama lagi, karena ternyata Esi menderita kanker?

Dalam kesempitan umur  itu aku juga ingin menikmati manisnya cinta masa remaja. Tapi aku tidak bisa  mencintai Arya, Rumba, Ahmad dan banyak lagi. Kaukan tahu itu. Karena kita selalu bersama-sama membaca setiap surat cinta yang aku terima.

Namun ketika kau memperkenalkan Sufi dengan aku, mendadak aku merasakan ada yang bergolak dalam dadaku. Dan Esi mulai merasa tersisih dengan kehadiran Sufi di sisimu. Aku jadi benci Sufi telah merebut seluruh perhatianmu ketimbang aku—sahabat dalitmu.

Julita, aku merasa memang telah jatuh cinta pada Sufi pada pandangan pertama, meski aku tahu Sufi pacarmu. Hatiku selalu berdebar dan cemburu bila Sufi memandangmu begitu mesra, hingga aku makin bertekad untuk menikmati cinta Sufi di sisa hayatku. Tapi gilanya, aku tak mau mengungkapkan keadaanku yang sebenarnya. Aku mau Sufi mencintaiku seperti dia mencintaimu. Dan aku pun tak mau kau mengetahui keadaanku lantas merelakan Sufi mencintaiku. Aku ingin memberikan kesan padamu, bahwa  aku seorang sahabat yang jahat dan keji! Tetapi aku merasakan sebuah kebahagiaan yang akan aku kenang dalam hari-hari menjelang ajal menjemputku! 

Dadaku berguncang. Air bening menuruni pipiku. Aku menguatkan diri untuk menuntaskan membaca buku harian Nesi.

Apakah dosa yang Esi perbuat ini mau kau maafkan?

Pipiku semakin basah.

Ketukan lembut di pintu kamar menyentakanku.

“Siapa?” tanyaku parau.

“Ita, ada Sufi mencarimu,” suara mama lembut.

Oh, aku memejamkan mata yang basah. Bisakah aku memaafkan Sufi dengan sempurna?

“Katakan aku capek dan tak mau diganggu, Ma!”

“Kau sakit Julita?” suara Mama terdengar cemas.

“Tidak Ma. Ita cuma capek dan mau istirahat. Tolong Mama katakan besok saja Sufi kemari lagi.”

“Ya, akan Mama sampaikan,” lalu terdengar langkah mama menjauh.

Aku kembali membaca buku harian di atas pangkuanku yang telah basah oleh air mataku.

Julita, aku mohon kau mau memaafkan segala salah dan dosaku padamu. Juga salah dan dosa Sufi. Kembalilah padanya. Esi tahu Sufi adalah lelaki yang baik. Dan akupun mengerti, Sufi tetap mencintaimu. Sufi juga seorang pemain sandiwara ulung, dia pura-pura mencintaiku atas dasar permintaan kedua orang tuaku. Itu kuketahui ketika dia suatu hari berkunjung ke rumah dan berbicara serius dengan Papa dan Mama aku. Aku yang mau menghidangkan minuman dapat menyadap pembicaraan mereka dari balik dinding. Mungkin kebiasaanku yang selalu mencuri dengar pembicaraan orang lain itu kurang baik. Tapi, akupun bermain sandiwara dengan pura-pura tak tahu skenario yang disusun Papa, Mama dan Sufi.

Esi tidak membenci mereka. Aku tahu itu semua mereka lakukan cuma mau membahagiakanku. Mengertikan kau, Julita? Kuharap kau mau memaafkan Sufi. Dia seorang lelaki yang berjiwa besar dan selalu mau berkorban demi kebahagiaan orang lain. Kudoakan semoga kau dan Sufi selalu rukun. Berjodoh. Dan kemudian memiliki anak yang buanyaaakkk… Selamat tinggal Julita, sahabat dan saudaraku…

Julita Beningnurindah, sebagai goresanku terakhir, kecuplah buku mungil ini. Terima kasih sahabat dalitku. Aku menyayangimu.

Sahabatmu, Nesi Arasene.

Aku semakin tak bisa membendung air mata yang jatuh menetes di atas permukaan buku harian Nesi yang semakin basah. Dari balik jendela aku menatap daun yang luruh melayang-layang di udara sebelum akhirnya terhempas di bumi.* (Herry Trunajaya BS)

Dimuat di Tabloid Gaul Jakarta, 2012

Pos terkait