NAURA melirik matahari. Panas sekali, gumamnya. Disekanya peluh yang mengalir di kening sambil menuruni tangga publik Klandasan. Di tangannya tergantung tas belanja. Beberapa buah langsat mengintip ke luar.
Pada pertengahan jalan ia merasa dihalangi seseorang. Matanya menatap sepatu hitam milik cowok di depannya. Lalu beralih ke lipatan celana yang rapi, terus naik dan mendapati wajah yang lurus menghadapnya. Sepasang mata tajam itu tak berkedip memandangnya. Beberapa detik tidak ada perubahn apa-apa. Kecuali cowok itu seperti ingin menyapanya dengan perasaan aneh.
Naura mengerutkan dahi. “Maaf, aku mau lewat!”
Cowok itu seperti gugup. Jemarinya bergerak-gerak, tapi ragu melakukan sesuatu.
Naura agak membesarkan matanya dengan perasaan setengah jengkel. “Aku cuma mau bicara. Kau… kau mirip pacarku!”
“Pacarmu?!” Suara Naura meninggi. “Jangan main-main!”
“Maksudku…” Cowok itu merasa bingung sendiri. “Maksudku pacarku yang telah tiada…”
Dalam kepala Naura tiba-tiba melintas nasehat kawannya. Bahwa cowok punya banyak cara untuk bisa mengenal seorang gadis. Ada yang halus, dengan pura-pura mengenalnya, kadang-kadang bersifat sedikit kurang ajar, dan agak berbahaya. Terus yang ini termasuk kategori apa?
Naura mengeraskan rahangnya.
“Oke,” ujarnya tanpa senyum. “Berarti kau salah lihat. Ternyata aku bukan orang yang kau kenal, bukan? Apalagi seperti pacarmu itu. Plis, boleh aku pergi?”
Tatapan cowok itu meredup. Ada gores kepedihan melintas di matanya. “Menyesal sekali kalo kau mengira aku mengada-ada…”
“Aku gak menuduhmu begitu,” Naura mulai bergerak. “Kau seorang cowok, Kalo benar ucapanmu tadi, kurasa gak perlu dengan suara sesendu itu,” ejek Naura.
Seakan terpana, cowok itu memandangi langkah Naura.
Naura menoleh sejenak ketika didengarnya gumaman cowok itu. “Memang aku rapuh. Cengeng, bahkan. Maafkan kekurangajaranku tadi…”
Tapi Naura tak mau mendengarnya lagi. Terus melangkah meninggalkan cowok yang masih menatapnya dengan gores kesedihan di matanya yang letih.
“Kok mukamu ditekuk tujuh gitu?” tanya mama, tersenyum.
Naura menaruh keranjang belanjaannya. Menyeka keringat di dahinya.
“Siapa yang gak kesel, Mam. Baru saja Na ke luar dari pengapnya pasar eh, seorang cowok menghalangi jalan Na!”
“Copet kali,” wajah mama sedikit cemas.
“Bukan, Mam. Dia bilang Na mirip pacarnya yang udah mati. Sebenarnya Na mau tertawa kalo nggak ingat sedang di pasar. Masa’ di dunia ini ada dua manusia seperti Na!” Naura tertawa kecil. Tapi tawanya segera terhenti melihat mama menekur. Wajah mama mendadak berubah sendu.
“Kenapa Mam? Mama sakit?” Naura cemas.
Mama menggeleng. Mencoba tersenyum. Hambar. Naura dapat merasakannya. Dengan hati diliputi keanehan tentang mama, Naura membenahi belanjaannya dibantu mama.
***
Seorang bocah perempuan kira-kira berusia empat tahun tiba-tiba memeluk kaki Naura yang baru saja memasuki toko buku Antara. Matanya yang hitam bening menyiratkan kerinduan hati. Tadi Naura salat zuhur berjamaah di Masjid At-Taqwa, lalu menyeberang jalan ke toko Antara, milik paman Asmuni.
“Tante Nauli,” katanya girang. “Tante kok ndak pelnah ke lumah lagi. Kacian Om Leo, Tante,” kata-katanya dengan lidah yang masih ‘pelo’ meluncur dari bibirnya yang tipis mungil.
“Om Leonya mana?” Naura mengelus kedua pipi montok gadis kecil itu. Entah mengapa ia menyukai kelincahan gadis kecil itu. Ia menanyakan Leo, meski ia sama sekali tak mengenal Leo dan gadis kecil yang tiba-tiba memanggilnya tante.
“Tuh,” jawabnya sambil menunjuk cowok yang sedang asyik melihat-lihat buku dalam etalase.
Deg! Hati Naura bergetar. Ingatannya melayang pada peristiwa di tangga publik Klandasan beberapa hari yang lalu ketika matanya menatap wajah murung cowok itu dari samping. Hem, jadi cowok yang menghalangi jalannya dan mengatakan ia mirip pacarnya yang telah tiada tempo hari bernama Leo? Naura tersenyum dalam hati.
Mungkin karena ketajaman intuisinya, cowok itu menoleh ke arah Naura. Pandangan mereka beradu. Wajah Naura memerah. Cowok itu tertegun, tapi ia cepat menguasai dirinya. Seulas senyum diberikannya pada Naura. Dada Naura bergemuruh. Tanpa disadarinya cowok itu telah berdiri di sampingnya.
“Ada apa? Apa keponakanku ini mengganggumu?”
“Nggak. Tetapi ia mengenaliku sebagai Tante Nauli.”
“Nauri!” ralat Leo. Naura tersipu.
“Itulah. Aku tidak berbohong toh tempo hari. Kau sangat mirip Nauri, sehingga keponakanku, Amara memanggilmu Tante Nauri, tapi supir truk jahanam itu telah merenggut Nauri dari sisi kami!”
Naura mengerlingnya mendengar suara Leo bergetar. Gerahamnya mengeras.* (Bersambung ke Bagian 2 | Herry Trunajaya BS)