“Kecelakaan dihantam truk?” Naura menadak terenyuh.
“Ya! Kepergian Nauri yang tragis itu menggores trauma di hatiku.”
“Oh, maafkan. Aku telah mengingatkanmu pada kenangan lalu.”
“Ah, nggak,” sahut Leo pendek. Suaranya kering. Sementara tangan kanan Naura menggenggam tangan Amara. Keduanya tampak akrab.
“Tante Nauli jangan pelgi lagi ya?” Suara Amara menyentakkan Naura dan Leo.
“Ya, Tante tidak akan pergi lagi.” Naura menatap mata bening Amara. Lalu memeluknya. Diam-diam Leo mengeluh dalam hati. Kenapa kita bertemu lagi disaat aku mulai melupakan masa laluku. Menyadari kerapuhanku, bahwa yang mati tidak untuk terus ditangisi, tetapi diikhlaskan, didoakan agar yang telah pergi tenang di alam sana. Leo menghela napas. Seleranya untuk membeli beberapa buku patah sudah.
“Kau mau beli buku?” tanya Leo sekedar menghilangkan hentakan halus di dadanya.
“Kalo ada yang menarik hatiku. Kau?”
Leo tersenyum tipis. Sangat tipis, namun cukup membuat hati Naura bergetar.
“Ya, tapi kulihat buku yang kucari belum ada.”
Dengan sabar Leo menemani Naura memilih buku. Tapi Naura pun akhirnya tak membeli sebuah buku pun. Seleranya jadi ikut-ikutan patah.
“Kau mau langsung pulang?” tanya Leo setelah mereka keluar dari Antara.
“Ya. Kenapa?”
“Gimana kalo kau menemani aku dan Amara minum es krim di Melawai?” Ajak Leo. Hati Naura berdesir halus mendengar tawaran itu. Diliriknya Leo yang berjalan di sisinya. Wajah tampan tetapi tampak letih dan menekur. Seolah bayangan yang tercetak di depan langkahnya.
“Gimana?” Suara itu mengandung harapan. Naura tak sampai hati menolak.
“Baiklah. Tapi dari sana aku langsung balik. Kasihan Mama, sendiri di rumah.”
“Jangan kuatir. Aku gak akan menyanderamu,” gurau Leo senang. Naura tertawa kecil.
Sopan sekali dan tanpa dibuat-buat Leo membukakan pintu mobil untuk Naura. Amara tampak senang.
“Terima kasih,” desis Naura.
Amara dengan manja duduk di pangkuan Naura yang mendekapnya dengan hangat. Amara tentu tidak mengerti kalau yang memangkunya bukanlah Nauri yang dirindukannya.
Leo mengeluh dalam hati. Pemandangan itu mengingatkannya pada Nauri yang juga selalu bersikap hangat dan mesra pada Amara. Naura dan Nauri hampir tak ada beda sedikit pun. Wajah dan gerak-geriknya. Juga tarikan senyum di bibirnya yang mungil sungguh mirip dengan tarikan senyum di bibir Nauri. Senyum pertama seorang gadis yang mampu menggetarkan hati Leo. Senyum yang tak akan mampu Leo lupakan sampai kapan pun. Meski Nauri telah tiada. Dan senyum itu kembali hadir lewat bibir mungil Naura. Mengaduk-aduk perasaannya.
Apa mereka saudara kembar? Selain begitu mirip, nama mereka juga hanya beda satu huruf. Tapi Nauri gak pernah ngomong kalo dia punya saudara kembar? Leo membatin.
“Sampai di sini saja, Leo.” Naura meminta Leo menghentikan mobilnya di depan gang rumah Naura.
“Aku akan mengantarmu sampai di rumah.”
“Gak usah Leo,” nada suara Naura terdengar kuatir. Leo tak jadi turun dari mobil. Ditatapnya Naura, membuat gadis itu menunduk. Merasa tersipu tiba-tiba.
“Lain kali aja,” bisik Naura. Diciumnya kedua pipi Amara. “Tante pulang dulu ya, Amara.”
Gadis kecil itu mengangguk. Leo menyandarkan tubuh pada jok mobil dengan lesu. Ia nampak kecewa dengan penolakan Naura. Naura merasakan betul hal itu. Namun ia belum bisa berbuat lain. Perlahan Naura melangkahkan kakinya ketika mobil Leo telah menghilang di sebuah kelokan. *(Bersambung ke Bagian 3 | Herry Trunajaya BS)