“Nah, ayo mulai melamun lagi,” tegur mama ketika melihat Naura datang dengan wajah sendu. “Sepertinya Mama meliat Na sedang memikirkan sesuatu?” selidik mama.
Naura menyungging senyum mencoba tersenyum.
“Na ketemu lagi dengan cowok yang tempo hari. Ia bersama Amara, keponakannya yang tiba-tiba saja mendekap Na, dan menyebut Naura sebagai Tante Nauri. Rupanya Naura memang benar-benar mirip Nauri, pacar Leo!”
“Leo…,” desis mama tanpa disadarinya. Wajahnya memias.
“Ya, Leo. Mama mengenalnya?” Naura menatap ke dalam mata mama. Lembut dan bening.
Mama mengangguk pelan. Menghindari tatapan Naura.
“Tentunya Mama pun mengenal Nauri?” Lagi-lagi mama mengangguk.
“Ternyata Mama tidak jujur sama Na. Mama ndak pernah bercerita tentang Nauri kepada Na!”
“Bukan begitu Na. Mama hanya tak ingin kau mengenal lelaki yang mengambil Nauri, saudara kembarmu itu.”
“Papa Na, maksud Mama?” Suara Naura tersekat di lehernya yang jenjang.
“Ya. Papa Na masih idup. Tidak mati seperti yang selalu Mama dongengkan padamu.”
“Kenapa Mama lakukan itu?” Alis lebat Naura berkerut. Ada tatapan tak setuju dalam matanya.
“Karna Mama tak mau kau mengenal seorang Ayah yang berhati serong. Ia tega mencampakkan Mama dan kau karena tergoda sekretarisnya yang cantik dan muda!” Suara mama patah-patah. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang mulai memiliki kerut tipis.
Naura menunggu mama meneruskan kalimatnya.
“Papamu pergi dengan membawa Nauri yang memang terlihat lebih sehat dari kau. Saat itu umur kalian baru dua tahun satu bulan.”
“Dan Mama bercerai dengan Papa?” Naura tak dapat menekan keharuan yang menyesak di dada. Ia menghambur memeluk mama. Tangisnya pecah.
“Ya. Kami berpisah secara baik-baik dengan masing-masing membawa seorang anak. Sebenarnya Mama tak rela Nauri ikut Papamu, tapi pengadilan telah memutuskannya demikian. Setelah itu kehidupan Mama dan Na ditunjang oleh pamanmu sampai sekarang.”
Naura melepaskan dekapannya pada mama. Ditatapnya dengan mata basah wajah perempuan yang sangat dikasihnya itu.
“Mam, cuma satu permintaan Na, dan Na mohon Mama mau mengabulkannya.”
“Apa Na?”
“Siapa nama dan di mana alamat lelaki yang menjadi Papa Na?”
“Untuk apa Na?”
“Na akan menuntut pertanggungjawabannya pada Na.”
Mama menggeleng. “Tak perlu anakku. Tuhan telah menghukumnya.”
“Maksud Mama?”
“Ia telah menjadi penghuni rumah sakit jiwa, karena tak kuat iman.”
“Oh!” Naura kembali mendekap mama.
“Kejadiannya begini,” mama mendudukkan Naura di kursi di depannya.
“Setelah kematian Nauri, ia seperti kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Berkali-kali ia menemui pamanmu untuk bisa bertemu Mama dan Na tentunya. Tapi pamanmu dengan tegas menolaknya. Ini atas permintaan mama pada pamanmu. Mama tak mau Papamu itu menodai kehidupanmu yang masih suci. Dan puncak dari semuanya, istrinya yang cantik ternyata seorang perempuan yang tak berperasaan. Ia meninggalkan Papamu. Sejak itu Papamu menjadi lupa segala-galanya, karena imannya tipis. Ia menjadi tak waras.” Mama menarik bibir mencoba tersenyum.
Naura menatap wajah mama. Wajah yang penuh penderitaan, tapi mama tetap tabah dan pasrah pada kebesaran Tuhan dengan selalu mendekatkan diri padaNya.
“Baiklah, besok sore Mama akan menemanimu berziarah ke makam Nauri, saudara kembarmu yang tak pernah lagi bertemu dengan dirimu.” Mama menyapu matanya dengan punggung tangan. Air mata Naura semakin membasahi pipinya. *(Bersambung ke Bagian 4 | Herry Trunajaya BS)