Kaltimku.id, PPU – Kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng membuat sejumlah pedagang kuliner di wilayah Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim) menjerit. Bagaimana tidak, tingginya harga minyak goreng memengaruhi omset para pedagang makanan.
Feri, seorang pedagang gorengan di wilayah Nipah-Nipah Penajam ini mengeluhkan dampak dari kenaikan harga minyak goreng. Meski pemerintah pusat menetapkan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000 per liter, namun stoknya terbatas.
“Yang promosi tidak selalu ada. Apalagi terbatas hanya ada di minimarket itupun sering kehabisan. Kalau di warung biasa rata-rata Rp 20 ribu,” ujar Feri, Senin (28/2/2022).
Keterbatasan stok di ritel modern, mengharuskannya mencari di tempat lain. Harga eceran yang ditetapkan pemerintah tidak berlaku di toko-toko kelontongan dengan skala kecil. Harga yang dipatok lebih tinggi dari HET pemerintah.
Pria yang juga berdagang mie ayam ini mengaku menghabiskan 5-7 liter minyak goreng dalam sehari. Dalam keadaan normal, ia hanya mengeluarkan modal Rp 75 ribu untuk membeli minyak goreng. Namun dengan kondisi saat ini, dana yang dikeluarkan untuk membeli minyak goreng naik menjadi Rp 100 ribu.
Tak ayal, kondisi itu menggerus omset bersihnya. Jika dalam sehari ia mengeluarkan budget Rp 500-600 ribu, maka dengan kenaikan tersebut, modal yang dikeluarkan mencapai Rp 700 ribu. Dengan kenaikan harga minyak goreng membuat nilai keuntungan yang didapatnya turun. Terlebih, terjadi penurunan daya beli masyarakat akhir-akhir ini.
“Kalau pembeli ramai masih bisa nutup. Kalau sepi masih untung kalau cuma kembali modal, ini kadang sepi,” ungkapnya.
Ia berharap, pemerintah pusat segera mendapatkan solusi untuk menurunkan harga minyak goreng. Sehingga pedagang kecil tidak kesulitan dan terus merugi.*
Editor: Hary BS