PERNAH melintas ruas jalan Trans Kalimantan? Jangan kaget! Perjalanan Anda akan terusik. Bukan banyaknya tikungan, tanjakan atau jurang terjal, tapi adanya kelompok demi kelompok masyarakat yang “pasang badan” di garis tengah (marka) jalan dua jalur itu.
Rekanku Awi Barabai Al Banjari di Tenggarong, misalnya, mengetahui kelompok masyarakat ini. Begitu pun Isran Napiah di Samarinda yang kalau ke Barabai atau hendak ke Banjarmasin pasti melewati ruas Trans Kalimantan wilayah Kaltim — Kalsel.
Adanya kelompok warga yang berjejer di tengah jalanan ini dirasakan pula oleh warga Kalteng. Sebut misalnya Liny Herlena di Tamianglayang, Barito Timur, atau Irfan di Muara Teweh.
Liny yang “laris manis” membuat wadai khas Banjar semacam Amparan Tatak, Sari India, Putri Salat dan “susumapan” lainnya itu memang sering mondar mandir dari dan mau ke Kalteng — Kalsel. Sering menjenguk orang tua dan keluarganya di Mahang, Pandawan, Barabai.
Begitu pula si Irfan. Sang koreografer muda di Muara Teweh itu sering pulang ke daerah Kalsel. Dia bersama istrinya yang asal Muara Teweh, Kalteng, tidak jarang menjenguk orang tuanya di daerah Kandangan.
Perjalanan dua warga Kalteng itu pun tentu menjumpai kelompok orang orang berjejer di marka jalan yang dilalui. Di beberapa ruas tertentu pada sepanjang jalan Trans Kalimantan yang panjang jaraknya ratusan dan bahkan ribuan kilometer.
Siapakah mereka? Ah, itu bukan orang orang frustrasi yang mau bunuh diri. Merekalah para relawan yang berjemur di terik matahari. Berhari hari pula, sambil melambaikan tangan dan menadahkan bakul atau keranjang ke semua sopir angkutan barang dan orang yang lewat.
Sopir sopir ini incaran mereka. Memang, tak ada tarif khusus, kecuali upaya mereka menangguk rupiah di tengah ruas jalan raya seperti ini seikhlasnya saja. Artinya, setiap lembar pecahan seribu, dua ribu — terlebih lima, sepuluh atau 20 ribu — yang dilayangkan sopir dan penumpang tetap mereka terima dengan sukacita.
Di daerah Bamban Utara dan Desa Bamban — Kandangan, misalnya, upaya menjaring donatur jalanan ini juga pernah dilakukan. Dananya untuk biaya pembangunan sarana/prasarana ibadah seperti masjid, langgar, pengadaan mobil damkar (pemadam kebakaran), ambulans atau fasilitas umum lainnya.
Berapa hasilnya? “Tidak tentu. Dulu kita pernah dapat Rp 10 — 12 juta per hari. Kalau hari hari tertentu pernah dapat sampai Rp 40 juta sehari,” cerita Isa dan Japrullah — dua warga Bagambir Bamban Utara — yang pernah ikut meminta sumbangan amal guna membangun menara masjid Bamban. Masjid Jamiyatul Khairaat namanya.
Japrullah atau Jajap lantas menyebut hari hari ramai “mananai” (menadah) sumbangan itu. Misalnya menjelang hari raya Idul Fitri, Idul Adha, atau acara haulan KH Muhammad Abdul Ghani atau Abah Guru Sekumpul di Martapura.
“Waktu haulan Abah Guru Sekumpul semalam, kita dapat sampai Rp 40 juta sehari. Penyumbang terbanyak dari Kaltim, selain Kalteng dan beberapa daerah di pahuluan Kalsel sendiri,” timpal Jajap.
Hari hari biasa relatif berkurang. Paling dapat 3 — 4 juta rupiah sehari seperti misalnya yang digelar panitia masjid Munawwaratul Hasanah, Desa Gumbil, Telaga Langsat, di ruas jalan Trans Kalimantan depan langgar Muara Longawang, Kandangan, belakangan ini.
Lepas besar kecilnya pendapatan per hari, lama kelamaan jumlahnya menjadi “bukit” pula. Maklum, upaya menjaring donatur jalanan ni bukan satu atau dua hari saja, tapi bisa berminggu minggu atau bahkan berbulan bulan lamanya.
Siapakah pencetus awal meminta sumbangan pakai mikrofon di garis tengah jalan raya ini? Belum jelas. Tapi, terobosan meminta sumbangan sambil menyambangi mobil mobil lewat ini merupakan bagian dari banyak cara Urang Banjar mencari duit selain mengedarkan amplop “door to door”, menggelar saprah amal dan memakai mobil keliling.
Terobosan meminta sumbangan yang makin mentradisi sepertinya menjadi gambaran adanya sikap keuletan, ketekunan dan kreativitas sebagian Urang Banjar. Ada kegigihan berusaha, menggali dan mencari sumber sumber pendanaan untuk kepentingan dan kemaslahatan ummat.
Kenapa? Bagaimana pun sebagian Urang Banjar di daerah pahuluan seperti Rantau — Kandangan — Barabai — Amuntai — Paringin — Tanjung dan sekitar masih kental dengan adat dan budayanya. Termasuk pula hal hal yang relegius.
Nah, mungkin faktor relegius ini yang membuat mereka seolah berlomba membuat amal kebajikan (Fastabiqul Khairaat). Tak peduli harus meminta sumbangan di tengah jalan raya yang terbilang sudah sangat padat. Semoga!*
Penulis: Julakku Julak Dillah, Wartawan Senior Kalimantan