Opera Bintang Film [1]

MENDUNG pekat di langit timur. Angin berhembus kencang, seakan sengaja menggiring awan hitam itu menggantung persis di atas kota. Aku setengah melomat dari taksi Jamban yang pengap, sambil bernapas lega karena terhindar dari himpitan manusia di dalam angkutan kota berupa taksi kayu khas kotaku. Kuhempaskan tubuhku yang sangat penat di sofa begitu sampai di rumah yang sepi.

Aku baru saja pulang dari latihan teater. Seminggu lagi  aku dan belasan temanku yang tergabung dalam Federasi Teater Oelin akan naik pentas untuk yang kesekian kalinya.

Bacaan Lainnya

Hujan turun mengguyur bumi. Sekilas aku melirik ke kaca teras dan samar-samar melihat sebuah sedan mewah memasuki halaman rumah. Semenit kemudian aku mendengar bunyi bel. Ayal-ayalan aku bangkit membukakan pintu. Dan aku mengerjapkan mata berulangkali seakan tak percaya pada penglihatanku.

Benarkah lelaki berambut dan berkumis putih dengan kaca mata tebal ini adalah Bung Sahbana, sutradara yang telah banyak melahirkan bintang-bintang film berpotensi kawakan?

“Mengapa kau bengong saja, Bara?” katanya, menyentakkanku dari ketertegunan dan keterpanaan.

“Ap… apakah Bung ini… Bung Sahbana?”

“Ya. Aku Sahbana!” Ia mengulurkan tangan yang kusambut masih setengah tak yakin. Seorang sutradara besar datang berkunjung ke rumahku. Hujan-hujan lagi. Ada apa? Apakah ia mau memuji salah satu aktingku yang pernah disaksikannya? Atau mau membantai permainanku yang dinilainya amat buruk dan tak berkarakter? Kalau dugaan itu ada yang tepat, maka aku bangga sekali. Dipuji atau dibantai sutradara besar!

“Bara…” Suara Bung Sahbana mengejutkanku, “aku salut dengan beberapa aktingmu yang berkarakter. Dan karena itu aku ingin mengontrakmu dalam filmku terbaru sebagai pemeran pria utama!” katanya tanpa basa-basi.

Jantungku seperti mau copot. Seumur-umur tidak pernah terbayangkan aku akan jadi aktor film. Lebih-lebih bermain dalam film arahan sutradara yang telah banyak melahirkan bintang besar peraih Piala Citra.

“Apa… ak… aku, aku akan Bung Sahbana kontrak?!” Suaraku patah-patah.

Bung Sahbana mengangguk kuat-kuat. Senyum ramahnya meyakinkanku.

“Nah, kau tanda tangani perjanjian kontrak kita ini!” Dibukanya sebuah map yang dikepitnya diketiak kirinya, lalu diangsurkannya sebuah kertas bermaterai penuh kalimat yang tak kusimak lagi. Aku membubuhi tanda tangan dengan jemari bergetar.

“Ini skenarionya, pelajari dengan baik!” Bung Sahbana memberikan sejilid skenario padaku.

“Dan ini pembayaran sejumlah tiga puluh persen dari honormu.” Lagi-lagi Bung Sahbana  membuat aku tertegun-tegun dan terpana-pana.

“Terima kasih, Bung Sahbana…,” kataku lirih.

“Bara, kau nanti akan berpasangan dengan  Arumi Rinduananda!”

“Arumi Rinduananda?” Aku melongo, tak yakin dengan pendengaranku.

“Ya, Arumi Rinduananda!” tegas Bung Sahbana. Tertawa lebar.

Ah, malaikat mana yang telah mengelus kepalaku, memberikan apa yang tak pernah kuangankan sedikit pun. Aku akan main film dengan Arumi Rinduananda, artis remaja idolaku. Bermimpi pun aku tak berani. Tuhan, terima kasih…, desisku penuh haru.

Ketika Bung Sahbana hendak berlalu, aku menahannya dengan sebuah pertanyaan.

“Maaf Bung, mengapa tiba-tiba Bung memakai saya, padahal saya tidak dikenal masyarakat, dan lagi banyak aktor lain yang telah punya nama. Mengapa tidak mereka saja yang bung Sahbana kontrak?”

“Karena aku melihat potensi besar dalam dirimu, Bara. Kau berkarakter dan akan menjadi aktor hebat seperti Dedy Mizwar,  Didi Petet, Slamet Rahardjo, Rano Karno, El Manik dan lainnya!” Bung Sahbana menepuk-nepuk bahuku. Kemudian berlalu.

Aku terpaku di tempatku, seperti terhipnotis menatap mobil Bung Sahbana menembus hujan yang masih mengguyur bumi.

Seisi rumah gempar ketika aku membeberkan kontrakku dengan Bung Sahbana. Pada mulanya Papa, Mama, Leo dan Syafa, abang dan adikku tak percaya. Tapi setelah kuperlihatkan perjanjian kontrak dan honor yang tiga puluh persen, baru mereka semua percaya.

“Selamat jadi bintang film, Bara!” Bang Leo meyalamiku.

“Cihuy… Bang Bara akan jadi bintang film kayak Ebiet!” teriak Syafa. Matanya berpijar gembira.

“Hush, Ebiet kan penyanyi solo,” ralat Leo,”kayak Ateng kali!” Semua tertawa.

“Sebodo, yang penting traktir aku es krim!”

“Okey, ntar kita minum es krim sampai perut kembung!”

“Papa dan Mama tidak keberatan Bara jadi bintang film, asal tidak melalaikan kuliah. Karena jadi bintang film bukan jaminan masa depan. Iya kan, Ma?” ujar papa, sambil mengerling mama yang tersenyum simpul.

Aku bangga. Bahagia. Aku…

Teman-teman seteater juga terheran-heran setelah mengetahui aku dikontrak Bung Sahbana. Semua mengerubutiku dengan lontaran pertanyaan yang mendengung seperti suara ribuan lebah. Teman-teman ikut bangga. Nama teaterku tentu akan lebih dikenal masyarakat jika aku sukses di film. Aku tak lupa mentraktir teman-teman. Makan sekenyang-kenyangnya.

Hanya satu orang yang tidak begitu gembira menyambut keberuntunganku. Malah sinar matanya membiaskan ketidaksetujuan. Tapi Lilka, gadisku terkasih tidak mecetuskannya. Lilka memilih diam. Mengatup erat bibir mungilnya.

***

TERNYATA main film cukup melelahkan. Tidak seperti teater yang bisa sedikit santai. Film harus mengejar waktu untuk menghemat biaya produksi. Untung aku telah punya bekal sebagai anak teater, sehingga tidak terlalu kikuk berhadapan dengan bintang-bintang ternama yang terlibat dalam penggarapan film perdanaku ini. Mereka semua baik dan ramah. Aku banyak mendapat  bimbingan dari mereka sebagai pendatang baru yang mendapat kehormatan langsung pegang peran utama pria. Ya, semua menerima kehadiranku dengan baik.

Syuting hari itu berjalan lancar. Aku mengerahkan segenap kemampuanku.

“Akting!” Seru Bung Sahbana yang berdiri  menatap para pemain.

Aku dan Arumi Rinduananda berdekapan di bawah hujan buatan yang disemprotkan dari truk tangki air. Tangan kananku mendekap Arumi Rinduananda, sementara tangan kiriku memegang payung hitam. Tubuhku terasa panas dingin. Dan keraguan masih mengusik aktingku, karena ternyata Arumi Rinduananda jauh lebih cantik dan rupawan dari yang sering kusaksikan di layar lebar.

“Cut!” teriak Bung Sahbana. Ia lalu menghampiriku. “Kau ternyata jauh lebih baik dari perkiraanku, Bara!” pujinya.

Aku cuma mengangguk tanpa bisa berkata sepatah pun. Kelegaan dan keharuan menyeruak dalam dadaku. Semua puas dengan permainanku. Tak ada hambatan yang berarti pada syuting hari itu.

Film perdana yang kubintangi telah selesai seminggu lebih cepat dari jadwal yang ditargetkan. Karena semua yang terlibat bermain dengan sepenuh hati dan jiwa. Saling mendukung satu sama lainnya.

Memperkenalkan: Bara Rampan Pratama!

Namaku tertulis paling besar pada poster film yang akan segera diputar serentak di bioskop-bioskop tanah air.

Sukses, sukses! Ya, filmku mendapat sambutan baik dari masyarakat. Sungguh di luar dugaan. Berbagai kalangan, terutama kritisi film, melontarkan pendapat yang optimis. Aku bintang film remaja yang penuh bakat dan harapan. Dan aku kebanjiran tawaran untuk bermain dalam film-film lain. Tapi semuanya kutolak dengan tegas. Aku tidak akan bermain satu film pun kalau bukan film garapan Bung Sahbana yang telah berjasa besar padaku.

“Jadi Bung Bara menolak main di filmku?” kata seorang produser yang mau mengontrakku. “Aku akan membayar Bung Bara jauh lebih besar!”

“Bukan begitu. Aku masih ada kontrak dengan Bung Sahbana.”

“Itu mudah diatur. Bung Bara kan bisa main lebih dari satu film. Bukankah Bung Bara tau banyak bintang lain yang dalam satu tahun main lebih dari lima film?”

“Itu gak akan kulakukan Bung Produser!”

“Kenapa? Ini kesempatan emas Bung Bara, sayang kalau sampai dilepas begitu saja.”

“Aku gak mau serakah. Aku main film bukan cuma memburu materi dan ketenaran semu, tapi bertekad untuk  meningkatkan aktingku, dan kalau bisa memajukan dunia perfilman kita yang sempat suram. Coba bung produser lihat bintang yang main dibanyak film. Mereka terlalu memforsir kemampuan, di luar kekuatan sebenarnya. Akibatnya mereka mudah diserang penyakit. Kalau sudah begitu, tak ada lagi yang mau menghiraukan. Tinggallah mereka bergelut melawan nasibnya yang jauh lebih buruk dibandingkan sebelum menjadi bintang!”

“Jadi kesimpulannya Bung Bara menargetkan diri main satu film dalam satu tahun?”

“Ya. Kuharap bung gak kecewa. Sekali waktu aku akan datang mencari bung kalau sudah gak ada lagi yang mau memakaiku,” ujarku, sambil melepas tawa.*(Bersambung ke Bagian 2|Herry Trunajaya BS)

Pos terkait