Warna Hujan [Bagian 2]

Kuhirup susu hangat yang dibuatkan mama untukku, putri tunggal mama dan papa yang manja dan dimanja.

***

Bacaan Lainnya

Aku memang tidak pernah bertemu lagi dengan cowok tampan berwajah dingin itu. Biarlah,  aku belum berpikir tentang apa pun sebelum lulus SMA dengan nilai baik. Juga, tentang cowok itu. Masa’ bodoh!

“Cepat Ga,” kataku pada Erga ketika bel pulang berdentang. “Keliatannya ujan akan tumpah lagi.”

Erga mengikuti langkahku yang lebar-lebar menuju halte.

“Ra, gimana kalo malam  Minggu ini aku belajar di rumahmu. Boleh nggak?” tanya Erga ketika kami telah berada di perut bus.

“Boleh. Tapi apa nanti gak ada yang marah?”

“Maksudmu?” Kening Erga mengernyit.

“Tabara kan naksir kamu!”

“Ih, amit-amit!”

“Lo, emang kenapa? Kan Tabara cukup keren ketimbang kamu nganggur terus.”

“Tapi aku gak suka sama yang namanya pengarang.”

“Kenapa?”

“Pengarang itu pandai dongeng dan tukang ngibul.”

“Itu artinya kamu membenci profesi Tabara, bukan orangnya kan?”

“Ah, udah!” Erga tampak agak kesal. Tapi aku cuma senyum tipis. Aku tahu kalau Erga tak akan marah padaku, karena kami sudah seperti saudara kandung. Sama-sama anak tunggal.

“Kamu sendiri gimana dengan cowok tampan berwajah dingin itu?” tanya Erga, mengejutkanku.

Aku menekur dengan hati terasa tak karuan.

“Aku gak pernah lagi bertemu dengannya,” kataku pelan.

“Kamu berharap sekali waktu akan bertemu lagi dengannya kan?”

“Entahlah.”

Sampai di halaman rumah, aku tahu sedang ada tamu untuk papa. Maka aku masuk lewat belakang, langsung masuk ke dalam kamar. Dan setelah mengganti baju sekolah aku iseng mengintip tamu papa itu dari kamar tengah. Aku tertegun, jantung berdentam hebat.  Betapa tidak! Tamu papa adalah cowok tampan berwajah dingin itu. Ada urusan apa dengan papa? Aku mulai dirambati kegelisahan.

“Siapa dia, Pa?” tanyaku setelah cowok itu pergi.

“Oh, dia mahasiswa teladan di Universitas Papa. Dulu dia juga pelajar teladan di SMA. Aura tentu pernah baca  tentang Muhammad Ramadhan, bukan?”

“Jadi dia Muhammad Ramadhan, Pa! Ah, Aura ingin sekali gelar mahasiswa teladan seperti dia!” kataku mantap. Sialan, cowok yang suka menghembus-hembuskan napas dengan keras itu ternyata mahasiswa teladan. Pantas saja orangnya kalem, tidak banyak omong.

Dalam hatiku tiba-tiba saja muncul keinginan untuk mempermainkan cowok itu kalau bertemu lagi nanti. Dan diam-diam aku berharap supaya hujan turun lagi bila aku pulang pratikum kimia.* (Bersambung ke Bagian 3)

Pos terkait