Elegi Daun Luruh [1]

SEBETULNYA aku ingin tak mempercayai gosip yang kuanggap hanya akan merusak jalinan kasihku dengan Sufi. Kakak kelasku yang jagoan basket di sekolah. Tetapi pemandangan di depan bioskop Gelora malam itu menghapus segala kepercayaanku terhadap Sufi. Cowok terkasih itu telah berkhianat. Dan yang sangat menyakitkan, Sufi bepaling kepada Nesi—sahabat karibku.

Karcis bioskop yang ada di dalam genggamanku, aku remas hingga lumat, seperti hatiku yang hancur, luluh, berkeping-keping tak berbentuk lagi. Aku yang ingin menyaksikan acting prima aktor idolaku Charlton Heston sebagai Nabi Musa, langsung kehilangan gairah. Aku masih melihat bagaimana mesranya Sufi dan Nesi yang bergandengan masuk ke dalam gedung bioskop, sebelum kemudian aku berlari ke dalam taksi dan membawaku  pergi.

Bacaan Lainnya

“Ta, apa kau tak merasakan cinta Sufi terhadapmu sudah tak murni lagi,” kata Renty, temanku sebangku, sebelum aku melihat sendiri kebenaran itu. Mulanya aku tak mempedulikan cerita-cerita sumbang yang kuanggap hanya “iri” hati melihat kemesraanku dengan Sufi. Tapi, malam itu segalanya jelas sudah. Sufi telah berpaling dariku. Dan yang amat menyakitkanku, Sufi berpaling dengan sahabat karibku sendiri.

Aku tersentak dari lamunan ketika mendengar suara motor memasuki halaman rumahku. Jantungku berdetak hebat ketika melihat tubuh langsing Nesi melangkah ringan ke arahku dengan gaya tanpa dosa. Aku  tak mau menghindar karena pertemuan ini sudah aku nantikan. Aku akan menuntaskan semuanya. Semua perasaan kecewa dan sakit hatiku terhadap Nesi yang telah kuanggap lebih dari seorang sahabat. Tapi ternyata Nesi telah tega menikamku dari belakang.

“Hai Ta,” sapa Nesi riang seakan tak bersalah.

Aku hanya menyungging senyum. Detak jantungku makin bergemuruh. Nesi duduk di hadapanku. Dan langsung menenggak minuman dalam gelas yang ada di atas meja. Tapi Nesi langsung tersedak memuntahkan minuman dari mulutnya pada rumpun perdu di halaman. Mata Nesi melotot memandangku.

“Apa yang kau minum kok pahit betul dan menyengat kerongkonganku?” tanya Nesi seakan tak percaya. Aku acuh.

“Kau sengaja mau menjebakku, ya?” Nesi tersenyum kecut melihat botol minuman keras di kolong meja. “Kau minum minuman keras?”

Aku kembali menyungging senyum. Sinis. Nesi tentu dapat merasakannya.

“Ada apa Ta, kayaknya kau sedang kusut. Ada yang merisaukanmu apa?”

Aku makin muak mendengar pertanyaan-pertanyaan Nesi. Kalau aku tak menekan gejolak di hati ini,  Nesi tentu sudah aku labrak. Mencakar wajah cantiknya. Tapi, kesabaranku jebol juga akhirnya melihat gaya  tak tahu diri Nesi.

“Ternyata apa yang aku dengar selama ini tentang pengkhianatan Sufi betul semua!” kataku  bergetar.

“Jadi ini semua ada hubungannya dengan Sufi?” tanya Nesi masih tetap dengan gaya tanpa dosanya.

Aku menatap mata Nesi yang hitam bening bagai mata bayi itu. Mata yang seolah tanpa pernah berbuat salah.

“Siapa lagi kalau bukan Sufi dan dirimu, Nesi Arasene!” sentakku tajam, “karena kau telah tega merebut orang terdekat dari diri aku!”

“Ta, aku kemari ingin belajar bersama. Tapi ternyata kau telah salah mengerti…”

“Salah paham maksudmu? Apakah salah paham namanya kalau seorang sahabat macam kau telah tega menikamkan belati di bokongku!”  Nesi cuma diam. “Kenapa kau diam saja Nesi, sahabatku yang baik,” dengusku.

“Apalagi yang harus aku katakan?” Nesi berdiri, “aku tidak merasa merebut Sufi dari sisimu!” Wajah Nesi memerah.

“Oke! Kau boleh berkata begitu. Tapi kau memang sengaja menjerat Sufi dengan kecantikanmu! Atau setidak-tidaknya kau tidak menolak kehadiran Sufi!”  Aku menatap Nesi dengan mata sarat kemarahan. Nesi balas menantang tatapanku. Nampak sorot mata Nesi agak sendu. Ada kedukaan mengambang di sana. Entah kedukaan apa, aku tak tahu, dan memang tak mau tahu!

“Nanti juga kau akan mengetahuinya, Julita. Aku pamit…,” kata Nesi setengah mengeluh. Kemudian berlalu dari teras rumahku. Menaiki motornya dan meluncur pergi. Aku tak mengantarkan Nesi  sampai ke motornya seperti biasa. Tetap terpaku di bangkuku. Aku mengerjapkan mata mencoba mengusir semua kenangan indah bersama Sufi. Sebab, Sufi ternyata sama saja dengan cowok kebanyakan. Tak setia. Ia telah terpikat  dan jatuh  dalam pelukan Nesi yang segalanya melebihi diriku. Cantik dan berotak cemerlang. Sedangkan aku hanya seorang gadis manis yang sederhana.

Minuman keras yang sebetulnya tak pernah aku sentuh, apalagi meminumnya itu segera kulemparkan  ke tong sampah. Ayal-ayalan aku kemudian berlalu ke kamar dan melemparkan diri di atas pembaringan.

***

Hari-hariku kini menjadi sunyi. Tak ada lagi teman seiring sejalan yang biasanya selalu bersamaku. Tetapi aku merasa keadaan ini jauh lebih baik daripada harus bersahabat dengan seorang yang diam-diam telah mengkhianatiku. Menodai persahabatan kami hanya karena seorang lelaki bernama Sufi.

Sendiri aku menyusuri Jalan Klandasan yang lengang siang redup itu. Wajahku  menunduk seakan sedang menghitung setiap langkah kakiku. Biasanya aku selalu bersama Nesi dan Sufi, tetapi kini, aku hanya sendiri melalui hari-hari sepiku. Kekasih dan sahabat yang sama-sama aku sayangi telah bersepakat menghancurkan hatiku. Ah, sedang  apakah Nesi dan Sufi?

Aku mengedikkan kepala mencoba mengusir bayang-bayang kemesraan antara Sufi dan Nesi yang mengusik hatiku. Makin menambah perih. Aku mencoba menahan bening yang ingin bergulir jatuh membasahi pipi. Aku tak mau cengeng. Aku haru tabah!

Langkahku mendadak mati. Sebuah hardtop merah hati berhenti di sisiku. Aku ingin memaki, karena  kaget bunyi gesekan ban dengan aspal jalanan akibat mobil direm dengan mendadak. Tapi makian yang sudah sampai di tenggorokan aku telan kembali begitu aku menyadari  siapa pengemudi mobil hardtop merah hati itu: Sufi!

Sufi melompat dari mobil dan berdiri di hadapanku. Wajah Sufi nampak pias. Sorot matanya nampak resah.

“Apa maksudmu menghadangku begini?” Nada suaraku ketus. Berusaha menekan goncangan dalam dadaku. “Apa kau mau memproklamirkan hubungan dengan Nesi,  heh?”

“Sabar Julita…” Sufi nampak gugup, “singkirkan dulu hal itu. Sekarang kau ikut aku ke rumah sakit!”

“Ke rumah sakit? Apa kau anggap aku sudah nggak waras, heh?!” Aku menatap Sufi dengan sorot mata tajam. Ingin rasanya aku meremukkan wajah tampan di depanku ini.*(Bersambung ke Bagian 2|Herry Trunajaya BS)

Pos terkait