Sore yang redup. Matahari bersinar ramah dihiasi mega-mega yang berarak dihembus angin. Leo menekan pedal gas mobilnya makin dalam. Dua mobil di depannya disalipnya. Suara ban berdecit beradu dengan aspal jalanan.
Wajah Leo tampak letih. Dengan satu sentakan ia mengganti persneling, mengurangi kecepatan. Dan berhenti di depan kiri sebuah pintu gerbang yang bertuliskan huruf kapital: TAMAN MAKAM MUSLIM. Sebelum turun dari mobil Leo menghapus keringat di dahi dan di wajahnya dengan telapak tangan. Dikitarkannya matanya menatap makam-makam di depannya. Tatapannya terhenti pada sebuah makam yang terawat rapi. Sebuah kamboja tumbuh di atasnya memberikan kesejukan.
Leo menghela napas, menginjakkan kaki di atas tanah. Sepatu ketsnya beradu dengan batu-batu kecil yang melapisi tanah pekuburan itu menimbulkan suara gemeretak. Tiba di hadapan makam itu, Leo menatap nama Nauri Anjani yang terukir di atas batu nisan dengan mata basah. Keringat membasahi dahi dan wajahnya. Napasnya bergelombang menahan air mata yang mau jatuh. Lengang dan sepi. Yang terdengar hanya desah angin menggesek dedaunan. Dan, intuisinya yang tajam memberitahukan padanya bahwa ia tak sendiri di makam itu. Segera dibalikkan badannya dan… Leo tertegun menatap dua perempuan yang dikenalnya: Naura dan mamanya.
“Tante, Na…” desis Leo.
Mama tersenyum lembut. Naura berusaha menata debar di hatinya.
“Kau, Leo!” Suara mama agak bergetar juga. “Rupanya kau masih mengenangnya?”
Leo menekur. “Aku tidak bisa melupakannya, Tante.”
Naura menaburkan bunga di atas makam Nauri, saudara kembarnya yang tak pernah dikenalnya karena perpecahan kedua orang tuanya. Karena keegoisan papa yang telah mengkhianati mamanya. Hati Naura menangis.
“Aku seperti masih tak percaya kalau sebenarnya Naura bukanlah Nauri, Tante,” ujar Leo ketika mereka telah berada di dalam mobil. Mama duduk di tengah antara Naura dan Leo.
“Itulah salah satu kebesaran Tuhan, Leo. Tapi tentu saja manusia memiliki sikap dan kepribadian masing-masing, meski mereka itu manusia kembar seperti Naura dan Nauri.”
Leo mengangguk pelan. Tatapannya lurus ke depan. Lalu lintas di Kawasan Kampung Damai cukup ramai dengan kendaraan pada sore hari begini. Sedangkan Naura tetap berdiam diri. Tangannya yang mungil meremas-remas ujung kerudungnya.
Tidak terasa mobil telah berhenti di depan gang. Leo segera membukakan pintu. Kali ini Naura tak bisa menolak kehadiran Leo di rumah. Mama telah mengajaknya mampir.
“Mam, sebenarnya Na malu sama Leo, kenapa Mama ajak dia ke rumah?”
“Kenapa? Karna keadaan kita?” Mama tersenyum lembut. “Bersikaplah sewajarnya. Mama tau siapa Leo, ia anak baik. Sudah antar airnya. Tuh liat Leo udah kehausan.” Mama mengedipkan sebelah matanya. Naura memajukan bibir bawahnya, sambil melangkah ke depan.
“Wah, aku jadi merepotkan nih…”
“Cuma air kok,” Naura meletakkan air jeruk itu di meja. “Diminum deh.”
“Makasih,” Leo mereguknya. Hm, segar.
“Aku tau kenapa tempo hari Na menolak kehadiradiranku di rumah ini,” Leo menatap Naura yang menekur. “Kau telah keliru menilai seseorang. Aku bukanlah manusia yang menilai seseorang dari sudut materi, tapi dari kepribadiannya yang luhur. Dan itu ada pada keluarga Na.”
“Apa kau jujur?” tanya Naura masih dalam menekur. “Ato kau cuma mau menghiburku ato karna aku saudara kembar Nauri?”
“Aku jujur, Na!” tandas Leo.
Naura mengangkat wajah. Menatap mata teduh Leo yang dinaungi alis hitam lebat laksanaka hutan bakau. Di sana, di mata teduh dengan alis hutan bakau itu Naura menangkap pijar kejujuran. Ketulusan. Hati Naura berdesir.
“Leo, kau mengenal Mamaku di mana? Kan kami gak serumah dengan Nauri?”
“Pada waktu pemakaman Nauri. Aku melihat seorang perempuan yang rada-rada mirip Nauri. Ia tak menangis, tapi aku tau perempuan itulah yang sangat berduka. Aku lalu menghampirinya dan menegurnya pelan. Lalu dengan berani aku menanyakan apa hubungannya dengan Nauri. Dan aku tau semuanya. Tapi waktu itu Mamamu gak bercerita kalo Nauri punya saudara kembar. Juga rasanya kau gak ada waktu itu.”
“Ya. Mama begitu rapi dan tabah menyimpan dukanya. Aku memang tau Mama pergi melayat waktu itu. Kata Mama, anak kenalannya yang meninggal,” suara Naura lirih. “Aku sungguh menyesalkan sikap Mama itu.”
“Sudahlah. Maksud Mama tentu baik padamu. Mama tak mau trauma keluargamu kau ketahui. Mama ingin kau hidup tenang, hingga kau berhasil dalam studi. Tetapi dengan pertemuan kita ini semuanya menjadi jelas sudah. Aku minta maaf!” Leo menatap Naura dengan mata teduhnya, masih ada gores kepedihan di sana.
***
Naura duduk di teras depan dengan buku Upacara karya Korrie Layun Rampan di tangan. Tapi selera bacanya menguap entah kemana. Bayangan wajah Leo begitu intim memenuhi benaknya. Naura tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ternyata ia merindukan kehadiran Leo di saat-saat sepi menggigit. Telah seminggu Leo tak menjumpainya. Naura rindu tatapan teduh mata Leo dengan alis hutan bakaunya.
“Mat sore…,” sapa sebuah suara.
Naura tersentak. Hampir saja ia bangkit berdiri dan memeluk Leo kalau saja ia melupakan kesadarannya. Leo bukan apa-apanya. Hanya kawan biasa.
“Sore,” balas Naura, berusaha menekan gemuruh di dadanya. “Tumben, nih.”
Leo tersenyum. “Aku kangen,” katanya, meraih jemari Naura. Buku di tangan Naura terjatuh di lantai.
“Kangen?” gumam Naura, “dengan Mama?”
“Dengan Naura Nurindah.”
“Apa aku gak salah dengar, atau kau salah omong?”
“Gak Na. Seminggu penuh aku telah mempertimbangkannya. Ternyata aku memang telah jatuh cinta padamu.”
“Karna aku saudara kembar Nauri?”
“Aku mencintai Naura bukan karena ia saudara kembar Nauri Anjani. Aku rasa arwah Nauri pun melihat dan merestui kita, karna aku tulus menyayangimu.”
“Tapi aku perlu waktu, Leo.”
“Maksudmu?”
“Beri aku waktu untuk berpikir.”
“Aku akan sabar menunggu sampai kau benar-benar menerima kehadiranku.”
Leo menekan jemari Naura yang masih dalam genggamannya. Mata teduhnya menatap wajah Naura. Hati Naura berdesir.
Matahari kota minyak telah condong ke barat. Membiaskan warna jingga di permukaan air laut Selat Makassar. Pucuk-pucuk cemara melambai-lambai dihembus angin. Jemari tangan Leo dan Naura tetap bersatu. Juga hati mereka. Menyenandungkan kidung cinta biru. Menatap hari-hari jingga yang menanti dengan senyum di bibir.* (Terima Kasih Kepada Kurnia Effendi)
(Dimuat di Majalah Anita Cemerlang, Edisi 258-1988)