Opera Bintang Film [2-Habis]

Menjadi bintang idola ternyata tidak selalu menyenangkan. Duniaku terasa menjadi sempit, karena kemana pun langkah kuayun selalu saja ada yang mengenali. Gadis-gadis dari yang ingusan sampai remaja selalu mengerubutiku minta tanda tangan. Semua itu membuatku risih. Aku bahkan jadi gelisah melihat tingkah Lilka, gadisku tersayang. Lilka seperti tidak berbahagia melihat kesuksesanku. Ia malah selalu ingin menghindar dariku.

“Ada apa, Ka? Kok dari tadi diam aja kayak arca?” tanyaku ketika jam istirahat di kantin kampus di kawasan Perkampungan Pelajar, Gunung Pasir.

Bacaan Lainnya

“Gak ada apa-apa,” sahut Lilka sendu. Wajahnya merunduk.

“Lilka sekarang kok jadi pendiam?”

“Kan Bara sekarang udah jadi bintang top!”

“Apa bedanya aku yang sekarang dengan aku yang dulu?”

“Banyak bedanya.  Kau tentu tak ada waktu lagi untuk aku.”

“Kok bisa begitu?” Aku menatap Lilka yang masih merunduk.

“Kau akan selalu sibuk dengan kontrak-kontrak yang membanjir.”

“Tapi aku selalu mengingatmu, Ka. Aku akan selalu meluangkan waktu untukmu…”

Lilka mengangkat wajahnya, menatapku dengan matanya yang amat aku kagumi.

“Tapi aku sangsi, sekali waktu kau akan berpaling. Apalagi kalau kau makin dekat dengan Arumi Rinduananda.” Suara Lilka bergetar mengandung nada cemburu. Aku tersenyum dalam hati.

“Alasanmu itu gak beralasan, Ka!”

“Semoga aja begitu.” Lilka tersenyum tipis. Sangat tipis.

“Sejak kapan kau meragukan kesetiaanku?”

“Sejak kau jadi aktor remaja idola semua orang!”

“Tapi itu bukan berarti aku akan mengkhianatimu, Ka. Aku amat kecewa kalo kau gak lagi memercayaiku!” ujarku, sambil menatap Lilka yang cuma diam mengaduk-aduk air jeruknya. Gadis lembut yang amat kucintai ini memang tidak sejelita Arumi Rinduananda. Tapi hatinya baik, dan aku tidak akan mengkhianatinya.

“Maafkan aku, Bara. Aku memang cemas, karena aku….”

Gak usah kau teruskan Ka. Aku ngerti,” kataku tulus, “semoga kau pun bisa mengerti aku.”

Lilka mengangguk. Tersenyum manis.  Hatiku  plong.

***

Berkali-kali sudah juru rias menghapus keringat yang berbintik-bintik di dahiku. Sungguh konyol aku tak mampu berakting kali ini. Adegan pertama dalam filmku yang kedua dengan mengambil tempat syuting di Pantai Manggar.

Bung Sahbana telah berkali-kali memotong aktingku yang keluar jalur. Sekujur tubuhku gemetar. Aku harus melakukan adegan ciuman bibir dengan Arumi Rinduananda. Ciuman yang lembut. Dan aku mengutuk diriku yang mendadak jadi linglung!

“Aduh  Bara…, kenapa sih kau gemeteran begitu!” Bung Sahbana gemas, mungkin juga kesal. “Coba deh konsentrasi dengan baik. Malu dong dengan Arumi yang aktingnya mantap hari ini.”

Konsentrasiku memang buyar! Karena tak pernah terbayangkan aku akan mencium bibir Arumi Rinduananda yang… ah! Apalagi disaksikan penonton yang berjubel. Penonton yang sebagian besar pengunjung pantai yang merupakan ikon wisata Kota Balikpapan. Membuatku kehilangan akting. Tapi dengan sekuat kemampuan aku berusaha mengimbangi akting Arumi Rinduananda yang menawan.

Aku menghela napas, memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan gemuruh di dadaku, dan kemudian melangkah mendekati Arumi Rinduananda yang tersenyum manis. Lalu aku memeluknya, sambil menghujamkan tatapanku. Perlahan-lahan wajah kami makin merapat. Hanya tinggal beberapa senti lagi bibirku dan bibir Arumi Rinduananda bertemu. Wangi napas Arumi Rinduananda menerpa hidungku. Tetapi….

“Bara…!” Gelegar sebuah suara.

Aku tersentak. Cepat aku berpaling ke arah datangnya suara yang amat aku kenal itu, Lilka Titiswangi!

Lilka memandangku dengan sorot mata gusar dan cemburu diantara para penonton. Dan sebelum aku berbuat sesuatu, Lilka berbalik meninggalkanku.

Aku melepaskan pelukanku pada Arumi Rinduananda, dan menerjang kerumunan penonton tanpa menghiraukan teriakan Bung Sahbana dan para kru film lainnya. Biarlah karierku sebagai aktor remaja idola berakhir. Biarlah! Demi Lilka aku rela meninggalkan dunia film. Aku tidak mau kehilangan Lilka. Gadis lembut yang amat aku cintai.

Lilka telah jauh di depan. Tak peduli teriakan-teriakanku. Aku terus mengejarnya, meski  banyak mata yang memandangku dengan heran.

“Lilka…!” teriakku nyaring. Tapi aneh, suaraku bergema. Memantul kembali. Langkah kakiku terasa berat seperti digayuti beban ribuan kati. Sedangkan Lilka makin jauh di depan. Jauh, dan jauh. Aku jadi panik.

“Ka…! Lilka…!” Lagi-lagi suaraku bergema. Memantul kembali. Aku makin panik. Langkahku terasa makin berat. Tapi dengan sekuat tenaga aku mencoba berlari mengejar Lilka yang hanya tinggal titik kecil di depan sana.

“Ka…! Ka…! Lilka…!” teriakku putus asa. Aku meraung, bagaikan seekor harimau luka. Namun, kenyataannya, aku terjerembap di atas hambal. Kepalaku membentur kaki meja. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, mencoba memulihkan kesadaran.

Dari televisi di ruang tengah, gema adzan Magrib terdengar syahdu dan merdu.

Astaghfirullah…,” gumamku, sembil meraba jidatku yang benjut. Rupanya aku tadi terlelap di sofa karena kelelahan dan bermimpi panjang menjadi seorang bintang film. Aku menggelengkan kepala dan tersenyum-senyum sendiri, persis orang sinting.*(Herry Trunajaya BS)

(Dimuat di Majalah Anita Cemerlang Jakarta, Edisi 314/’89)

 

Pos terkait