Bibi Ratih mengusap kepalaku dengan kelembutan seorang ibu. Lalu ia memegang kedua bahuku yang masih terguncang. Matanya menatap dalam ke mataku.
“Bibi amat paham denganmu, Ta. Kami semua yang ada di sini masih belum memercayai berita itu. Tapi kalo itu akhirnya memang nyata, kita semua harus tabah. Serahkan semuanya kepada Allah. Semua harus ditanggung oleh Bagas atas perbuatannya sendiri,” suara perempuan di depanku ini terdengar lembut, meski sedikit bergetar. Aku tahu hatinya sangat hancur!
“Tapi Bagas akan dihukum berat dan mungkin dihukum ma…”
“Bibi juga tau itu Julita. Meski sebagai seorang Ibu, aku sangat tidak rela buah hatiku harus meregang nyawa di ujung peluru regu tembak. Akan tetapi apalah daya bagi seorang Ibu seperti aku ini, meski suamiku, Mas Riswan adalah orang yang telah memberikan hidupnya bagi Negara. Sebagai istri aku merasa bangga, meski harus kehilangan lelaki yang sangat aku cintai. Namun sebagai Ibu, aku sangat kecewa dan sedih, karena anakku yang merupakan harta paling berharga dari Mas Riswan, telah berbuat terbalik dari sang ayah. Bagaskara telah menjadi seorang perenggut kehidupan orang lain. Menodai bumi pertiwi ini. Hatiku betul-betul hancur,” Bibi Ratih memelukku, dan aku merasakan tubuhnya bergetar.
***
DUGAANKU pun tidak meleset. Bagaskara dan komplotannya akhirnya divonis hukuman mati oleh para penegak hukum, setelah melalui beberapa kali persidangan yang selalu ramai dihadiri pengunjung. Aku yang memang belum mau menemui Bagas, kembali terhenyak. Hatiku kembali berdarah. Apalagi aku melihat wajah tampan Bagas tampak kuyu dan selalu menunduk di hadapan para hakim dan jaksa penuntut umum. Begitu juga dengan kawan-kawannya. Tapi kali ini aku tidak sampai semaput lagi. Aku sudah bisa bersikap tegar.
“Bi, besok aku akan menemui Bagas,” kataku dengan perasaan hancur.
Bibi Ratih menoleh. Menatapku. Mata Bibi Ratih tampak berbinar-binar. Aku lantas memeluknya. Tubuhnya berguncang di dalam pelukanku yang juga tak mampu untuk tidak kembali menangis.
“Iya Julita. Bagaimana pun juga Bagas adalah anak Bibi.”
“Dan kekasih Julita…”
“Dan kita harus segera menemuinya.”
Aku mengangguk dalam pelukan Bibi Ratih.
Di dalam bus yang membawa tubuhku dan Bibi Ratih menuju ke kota, aku bagai tersedak dengan kenangan masa-masa bersama Bagas di sekolah, belajar bersama, dan di surau saat-saat kami belajar mengaji. Semuanya bagai sebuah film yang diputar ulang. Saat aku, Bagas dan beberapa teman merayakan kelulusan. Juga saat Bagas mengabarkan telah mendapatkan pekerjaan di kota…
Bagas memang hanya sempat dua kali pulang dalam setahun, tetapi hubungan melalui kontak telepon selalu ia dan aku lakukan hampir setiap hari. Dua tahun sudah berlalu. Bagas semakin jarang pulang, tahun kemarin ia hanya pulang sehari menjelang Idul Fitri. Itu pun Bagas hanya dua hari di rumah sudah kembali meninggalkan aku dan Bibi Ratih. Padahal kami semua masih merindukannya.
“Bi, Bagas sepertinya sudah mulai menjauh dari kehidupan kita,” kataku, ketika ia kembali ke kota, sore itu.
Bibi Ratih menggeleng pelan. “Tidak Julita. Bagas masih tetap Bagas anak Bibi. Mungkin saja ia memang betul-betul disibukkan dengan pekerjaannya di kota.”
Aku pun diam. Tapi di mata Bibi Ratih aku menangkap pijar kerinduan.
Bagas langsung menubruk tubuh ibunya ketika kami membezuknya. Sama seperti ketika ia masih kecil dulu. Bedanya ia tidak lagi melompat ke dalam gendongan Bibi Ratih karena tubuh Bagas sudah lebih besar dari almarhum ayahnya. Tapi Bagas masih menangis di dalam pelukan wanita penuh cinta di depanku ini.
“Udah, udah, malu tuh ada Julita,” kata Bibi Ratih, seraya menepuk-nepuk lembut punggung Bagas.
Bagas kemudian merenggangkan dekapannya. Lalu berbalik, menatapku dengan mata berair.
Aku langsung memeluknya. Bagas membalas pelukanku. Aku merasakan tubuh atletis Bagas berguncang. Sudah berapa lamakah aku tidak mendekap dan didekap kekasih dan belahan hatiku? Rasanya sudah berabad-abad silam…
Bahu kananku mulai terasa hangat. Ya, air yang meleleh dari kedua bola mata Bagas tidak saja membuat bahuku hangat, tapi juga sampai ke relung terdalam hatiku.
“Maafkan aku, Sayang…,” desah Bagas lirih.
Aku memejamkan kedua mataku yang menghangat, tak mampu membayangkan tubuh Bagas diterjang timah panas dari tembakan yang akan segera mengeksekusinya. Mengakhiri perjalanan hidup lelaki yang amat aku cintai dan sayangi.
Air bening makin deras mengalir dari mataku. Membasahi dada bidang Bagas yang makin erat memelukku.
Aku merasa ini kali terakhir aku memeluk dan dipeluk cintaku.
Hatiku hancur. Pandanganku berputar, dan akhirnya gelap.*(Herry Trunajaya BS)
Balikpapan, Ramadhan 1429 H