Warna Hujan [Bagian 1]

HUJAN turun dengan mendadak. Membuatku segera berlari ke emperan toko yang sudah tutup. Buku-buku kupeluk erat di dada agar tidak kena air hujan. Sesudah itu baru kurasakan betapa dinginnya cuaca sore ini. Untunglah pratikum kimiaku sudah selesai. Jam mungil yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan angka lima lewat sepuluh menit. Di emper toko ini banyak orang yang senasib denganku,  terjebak hujan.

Diam-diam aku mengeluh dalam hati. Cuaca akhir-akhir ini sering berubah-ubah dengan tidak terduga. Hari yang tadinya cerah bisa mendadak diguyur hujan, seperti sore ini. Aku sama sekali tidak menduga hari akan hujan, sehingga aku tidak menyiapkan payung.

Bacaan Lainnya

Sekarang sudah pukul lima tiga puluh menit. Berarti dua puluh menit sudah  aku berdiri di emper toko ini, dan hujan belum mau juga berhenti. Sementara perutku mulai “berkukuruyuk” minta diisi.

Sialnya lagi, di seputaran pertokoan ini tak ada telepon umum, hingga aku tidak bisa menelpon orang rumah untuk menjemputku di sini. Aku kini cuma bisa merenung menatapi titik-tititk air hujan di ujung teras semen emper toko ini.

Aku sedikit kaget dan tersentak dari lamunan ketika  orang di sebelahku menghembuskan napas keras yang panjang. Aku menoleh, dan astaga! Cakep betul. Kenapa baru sekarang aku melihatnya, sesalku konyol.

Cowok itu menoleh ke arahku. Aku kaget, tak sempat menghindar, dan akibatnya mata kami bentrok, sejenak. Aku cepat-cepat berpaling. Wajah itu begitu dingin. Tak ada senyum seulas pun. Kemudian lagi-lagi aku mendengar hembusan  napas dalam seperti tadi. Aku meneguhkan hati untuk tak menoleh, tapi entah perasaan apa yang membuat aku begitu tertarik untuk menoleh.

Ia pun menoleh ke arahku. Aku merasa serba salah dan mengangguk kecil. Cowok itu membalasnya. Wajahnya masih tetap dingin, tapi di sudut bibirnya ada seulas senyum yang membuatku terpaksa tersenyum juga.

“Pulang kuliah?” tanyanya pelan, tanpa kuduga.

“Hm… ya,” dan aku tersenyum geli merasakan jawabanku. Kuliah? Apakah aku udah persis mahasiswi? Padahal aku masih di SMA 55 kelas XII IPA. Hm.

“Di mana kuliahnya?” tanyanya lagi.

“Di sastra Indonesia,” jawabku seenaknya. Biarlah, sudah kadung berbohong. Cowok itu tersenyum. Hatiku berdesir halus.

“Di Universitas mana?”

“Yang ada di kota ini!”

“Kok bawa buku kimia?” tanyanya lagi. Aku tersenyum kecut. Jeli juga mata cowok ini rupanya.

“Oh, ini buku SMA dulu, barusan dipinjam adik temanku,” jawabku tanpa kehilangan akal. Cowok itu cuma manggut-manggut.

“Bung kuliahnya di mana?” Aku balik bertanya, serius.

“Ah, aku nggak kuliah lagi. Macet waktu permulaan masuk hukum,” suaranya kalem.

Untung cowok itu tidak bertanya-tanya lagi tentang kuliah di sastra. Kalau ia bertanya bisa mati konyol aku, karena nama-nama sastrawan yang melekat di benakku dengan baik hanya si Burung Merak WS Rendra dan si Binatang Jalang Chairil Anwar. Aku memang sejak kecil kurang berminat membaca. Hal ini membuat aku selalu tertinggal oleh teman-teman. Juga dalam hal pacaran. Di kelasku cuma aku dan Erga yang belum punya cowok terkasih.

Hujan belum juga mau berhenti, sedangkan matahari sejak tadi sudah terbenam. Aku tidak akan berbuat nekat menerabas hujan meskipun tidak deras lagi. Beberapa orang sudah beranjak pergi dari emper toko. Lampu-lampu jalanan sudah menyala. Lagi-lagi cowok itu menghembuskan napas panjang seperti tadi. Diam-diam aku meneliti  sosok cowok itu dengan akurat. Wajahnya yang tampak dingin. Bajunya rapi, mode mutakhir. Dengan map besar di tangannya itu dia tampak seperti seorang mahasiswa.

“Rumahnya jauh?” tanya cowok itu menyentakkanku.

“Eng… nggak. Dekat kok,” aku agak gagap.

“Kalo rumahmu menuju ke arah barat berarti kita sejalan.”

“Tapi aku cuma sampai di perempatan itu, lalu belok ke kanan.”

Aku kemudian berpikir keras, apa aku pernah melihat cowok itu. Tapi di mana dan kapan? Ah, wajah itu belum pernah aku kenal!

Hujan akhirnya reda juga, kami lantas berjalan bersama. Sama-sama membisu. Hanya tedengar kecepak-kecepak sepatu di aspal jalanan yang basah. Cowok itu menawarkan untuk mengantarkanku sampai ke rumah, tapi dengan halus aku menolak. Sesampainya di perempatan, aku menghindar.

“Rumahku udah dekat. Makasih atas iringannya.”

“Oke, sampe jumpa,”sahutnya, tersenyum. Tampaknya ia tidak tersinggung. Sampai jumpa? Mama, mengapa hatiku bergetar begini? Ah, aku berupaya untuk menepiskan angan-angan yang mulai mengusik hatiku. Karena kupikir,  aku dan cowok itu tak akan bertemu lagi, meski Balikpapan bukan kota yang besar.* (Bersambung ke Bagian 2 | Herry Trunajaya BS)

Pos terkait