Biomassa Energi Hijau Berkelanjutan di PLTU Teluk Balikpapan

Kaltimku.id, BALIKPAPAN — Proses energi yang ramah lingkungan kini bukan lagi perkara pelik namun menjadi sebuah obsesi besar pemangku energi, yakni PLN. Adalah  Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan mengandalkan energi biomassa yang belakangan dikenal sebagai salah satu energi co-firing (strategi co-firing atau pembakaran dua atau lebih material ini, membuat pembangkit listrik tenaga uap yang umumnya menggunakan bahan baku batubara, memiliki tambahan alternatif biomassa yang lebih hijau).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berkomitmen untuk menekan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari PLTU. Pasalnya, setiap PLTU berkapasitas 1 GW menghasilkan 5 juta ton CO2.

Bacaan Lainnya
Dhidhik Kridho Laksono (kiri) dan Septian Surya

Teknologi co-firing akan memanfaatkan biomassa sebagai substitusi parsial batubara untuk dibakar di boiler pembangkit listrik. Terlebih biomassa ini dapat diperoleh dari beragam bahan baku, seperti limbah hutan, perkebunan, atau pertanian. Pemanfaatan limbah biomassa dapat mengurangi emisi metana yang disebabkan oleh degradasi limbah biomassa itu sendiri.

Terkait hal tersebut, seperti yang diungkap Dhidhik, Asisten Manager Operasional PLTU Teluk Balikpapan didampingi Septian Surya Tim Leader Bahan Bakar, bahwa ada sekitar 3 % biomassa yang menjadi target penggunaannya dalam program co-firing di PLTU Teluk Balikpapan. Kerjasama pun dijalin dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Balikpapan dalam hal ini Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Manggar, Balikpapan Timur terus berlanjut.

Dijelaskan Dhidhik saat berbincang dengan media ini, Rabu (27/12/2023) di Kantor TPA Sampah Manggar, target penggunaan biomassa 3% tersebut ditentukan berdasarkan dari go live di Desember 2022, tapi pengujian awal di Juni 2020. Saat itu, ditentukan hasil persentase biomassa 3% dapat terlaksana dengan baik. Dengan latar belakang tersebut, maka pihaknya melanjutkan dengan persentase itu.

Seperti diketahui, PLTU Teluk Balikpapan merupakan salah satu pembangkit terbesar di pulau Kalimantan dengan kapasitas terpasang 2×110 Megawatt (MW) yang digunakan untuk menyuplai kebutuhan listrik di Sub Sistem Mahakam, dan salah satunya Kota Balikpapan.

Sejauh ini, dikatakan Dhidhik, PLN Nusantara Power Unit Pembangkit Teluk Balikpapan telah melakukan ujicoba pada tiga jenis biomassa sebagai bahan baku co-firing PLTU. Tiga jenis biomassa yang diujicobakan adalah cangkang sawit, woodbark, dan woodchip. Dari ketiganya, penggunaan woodchip dinilai paling memungkinkan.

Adimas (kiri) dan Slamet Makmur

Untuk menjalankan program co-firing dengan sukses, PLTU Teluk Balikpapan membutuhkan pasokan biomassa yang kontinu dan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, pasokan biomassa seperti woodchip atau cacahan kayu masih sulit untuk dipenuhi sesuai dengan kebutuhan.

Atas dorongan kebutuhan proses biomassa, kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Balikpapan selama ini berjalan dengan baik. Produksi ‘Pellet’ (wood chip) yang secara berkesinambungan tentunya ada saat dimana ketersediaan limbah kayu dan dedaunan berkurang. Woodchip beserta pellet yang dihasilkan TPAS Manggar berkisar antar 5-10 ton. Jumlah produksi itu belum signifikan karena masalah keterbatasan bahan baku.

Untuk kesinambungan produksi woodchip, pihaknya melakukan kerjasama dengan pihak lain diantaranya, dengan PT AW Technologi  salah satu vendor yang bergerak di bidang energi.

Dhidhik Kridho Laksono, nama lengkap  Asisten Manajer Operasi PT PLN Nusantara Power Unit Pembangkit Kaltim Teluk Balikpapan mengamini kesulitan memenuhi pasokan bahan baku co-firing tersebut. Dhidhik menyampaikan saat ini implementasi co-firing masih menghadapi tantangan. Mulai dari pemenuhan bahan baku untuk woodchip, perlakuan khusus untuk woodbark, hingga cangkang sawit di pasaran harganya relatif tinggi di atas harga maksimal yang mampu pihaknya akomodir.

“Selama pasokan biomassa terpenuhi, kami berkomitmen mengoperasikan unit dengan tiga persen biomassa. Saat ini masih belum terpenuhi targetnya karena ketersediaan masih terbatas,” ungkap Dhidhik.

Dalam hal ketersediaan woodchip, dijelaskan juga Kepala Kantor TPAS Manggar, Mochamad Haryanto, bahwa memang selama ini selalu ada  saja kendala diantaranya limbah cacahan kayu dan dedaunan pasokannya berkurang.

Soal kendala pasokan, Dhidhik menggambarkan, PLN Nusantara Power UP Teluk Balikpapan mendapatkan suplai dari PT Teluk Borneo Nusantara yang merupakan penyuplai dari TPAS Manggar. Dari target suplai biomassa 2023 sebesar 400 ton, hingga Agustus baru mencapai 30,31 ton. Kemudian dari PT AW Technology yang menyuplai woodchip sekitar 1300 ton.

Di tempat yang sama dijelaskan Adimas selaku Manager Marketing PT AW Technologi yang didampingi Slamet Makmur, Manager Produksi.

Adimas, mengatakan jika proses pengelolaan woodchip, ada tahapan dimana setiap pohon (bibit) diperlukan untuk ditanam  pada lahan petani yang telah disiapkan selama kurang lebih 8 bulan dan dalam jangka satu tahun bisa dipanen tiap bulan (dengan dipotong bagian tengahnya) sehingga dahan/cabang pohon tumbuh kembali. Jenis bibit pohon ini dikenal dengan pohon Kaliandra. “Kenapa tidak dipotong dari akar, karena untuk mempercepat proses pertumbuhan maka kami potong dari bagian tengah,” jelas Adimas.

Untuk lokasi penanaman pohon ini dilakukan di wilayah Penajam, Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara. “Untuk di Samboja pengelolaan telah berhasil karena kerjasama berbagai pihak sangat baik,” ujar Adimas.

Apa pun dan bagaimana pun energi baru terbarukan (EBT) selalu saja mengalami perubahan dari waktu ke waktu ke arah yang lebih baik dengan konsep eco green (energi hijau ramah lingkungan). Dengan sistem energi biomassa ini secara tidak langsung mengurangi dampak polusi lingkungan.

Pada akhirnya untuk masyarakat luas, biomassa dapat digunakan sebagai sumber tenaga bahan bakar dan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, pakan ternak, dan lain-lain. Selain itu, bahan-bahan biomassa juga dapat dijual dan diekspor sebagai sumber pemasukan.***

Jurnalis:  Yun Darojatun

Pos terkait